Menyoal Konflik Kebijakan Pembangunan Bendungan Bener dan Penambangan Batu Andesit di Desa Wadas

Maulana Aji Negara
18 min readJun 26, 2022

--

Sumber. merdeka.com

Pendahuluan

Realitas kebijakan publik penuh sesak dengan konflik. Setiap keputusan kebijakan selalu berpotensi menciptakan konflik dalam berbagai tingkatan dan intensitas. Sehingga tidak berlebihan jika mengatakan bahwa konflik adalah salah satu fenomena terpenting dalam studi kebijakan publik dan politik. Meskipun demikian, selama ini konflik sering kali hanya diperlakukan sebagai latar belakang yang diasumsikan ada, tanpa diikuti dengan penjabaran komprehensif mengenai karakteristiknya (Weible & Heikkila, 2017). Hal ini berimplikasi pada kekosongan definisi dan teoritis yang mengelilingi konsep tentang konflik kebijakan itu sendiri Dengan semangat menjadikan konflik sebagai fokus utamanya sebagaimana judul tulisan ini yang to the point dan tidak retoris, tulisan ini bertujuan untuk membedah karakteristik suatu konflik sekaligus menjabarkan upaya pemerintah Indonesia dalam mengelola suatu konflik kebijakan.

Studi kasus yang diangkat dalam tulisan ini adalah konflik penolakan masyarakat Desa Wadas terhadap kebijakan penambangan batu andesit. Kasus ini dipilih karena konflik di Desa Wadas sudah berlangsung sejak 2018 tetapi hingga sekarang belum menemukan titik terang. Selain itu, konflik wadas juga semakin membesar, melibatkan banyak pihak, dan memicu beberapa gelombang aksi demonstrasi yang cukup masif. Alasan lain pemilihan kasus Wadas berkaitan dengan aspek teoritis yang belum disoroti dalam kajian yang mengambil objek kajian konflik Wadas. Beberapa studi telah membahas konflik wadas dengan fokus yang beragam. Akan tetapi, semua kajian tersebut lagi-lagi hanya meletakan konflik sebagai basis untuk menjelaskan fenomena lain. Hal ini dapat ditemukan misalnya penggunaan konflik wadas untuk menjelaskan peran perempuan dalam gerakan sosial (Iqbal, 2022; Nursalim & Riyono, 2022); menjelaskan pengaruh pandangan positivisme hukum terhadap tindakan represif negara (Setiawan, 2022); dan menjelaskan problem paradigma pembangunan nasional yang kurang memperhatikan aspek kearifan lokal (Astoni, 2022). Sementara itu, studi lain seperti yang dilakukan Budiharto (2022) memang telah cukup menaruh perhatian terhadap konflik Wadas dalam lanskap konflik agraria tetapi memiliki keterbatasan atau setidaknya hanya melihat secara implisit hubungan antara konflik dengan kebijakan publik dalam kasus Wadas. Berangkat dari kekosongan teoritis tersebut, tulisan ini akan mengadopsi Policy Conflict Framework (PCF) dalam menjelaskan karakteristik konflik Wadas. Selanjutnya, dengan menggunakan basis pemahaman karakteristik konflik tulisan ini akan membahas pendekatan pemerintah dalam mengelola konflik Wadas dengan berfokus perihal prinsip, proses negosiasi, dan upaya penyelesaian konflik. Pembacaan kritis mengenai ketiga aspek ini diharapkan mampu menemukan duduk persoalan mengapa konflik Wadas hingga sekarang belum menemukan titik terang.

Tentang Kasus Konflik Wadas

Konflik yang terjadi di Desa Wadas ditengarai oleh adanya Proyek Strategis Nasional (PSN), yaitu pembangunan Bendungan Bener. Pembangunan Bendungan Bener sudah direncanakan sejak 2018 yang targetnya akan mulai beroperasi pada tahun 2023. Nilai investasi dari pembangunan ini cukup besar yaitu senilai Rp 2,06 triliun yang bersumber dari dana APBN. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa pemicu utama penolakan warga dalam konflik kebijakan ini bukan dikarenakan warga menolak adanya pembangunan Bendungan Bener. Warga tidak menolak pembangunan tersebut melainkan menolak penambangan batuan andesit yang digunakan sebagai bahan material untuk membangun Bendungan Bener. Wadas setidaknya memiliki 40 juta meter kubik batu andesit, sedangkan yang akan diambil untuk bendungan hanya sebesar 8,5 juta meter kubik (Farasonalia & Aditya, 2022). Meskipun demikian, lahan warga tetap diambil alih pemerintah seluas 146 hektare untuk area pertambangan tersebut. Hilangnya lahan warga untuk tambang sama saja dengan hilangnya mata pencaharian karena warga wadas sangat bergantung pada aktivitas ekonomi pertanian dan perkebunan. Alasan lain penolakan warga wadas terhadap kebijakan ini adalah terkait dengan kerusakan lingkungan. Aktivitas pertambangan dinilai berpotensi merusak struktur batuan yang menyebabkan area di Desa Wadas rawan longsor.

Dalam kasus konflik kebijakan yang terjadi di Desa Wadas, pihak yang berkonflik secara sederhana dapat dibagi menjadi dua kubu. Kubu pertama adalah pemerintah yang memiliki kepentingan dalam pembangunan Bendungan Bener yang membutuhkan batu andesit dari penambangan di Desa Wadas. Pihak pemerintah diwakili oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) selaku penanggung jawab proyek, pemerintah daerah Jateng selaku pemegang otoritas daerah provinsi, dan pemerintah Kabupaten Purworejo selaku pemegang otoritas lokal. Sedangkan pihak kedua adalah warga Desa Wadas yang mayoritas berprofesi sebagai petani yang merasa dirugikan apabila lahan yang selama ini dimanfaatkannya hilang dan diubah menjadi lahan tambang. Pihak warga membentuk aliansi kolektif gerakan yang beranggotakan warga Wadas dan juga para aktivis yang disebut dengan Gerakan Perwakilan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa). Penggunaan frasa “peduli alam” ini merupakan bukti bahwa alasan penolakan masyarakat Wadas tidak hanya berupa alasan materialistis tapi juga ideologis. Isu mengenai hubungan kedekatan antara alam Wadas dengan masyarakat Wadas (khususnya perempuan) bahkan dijadikan salah satu argumen penolakan pada saat sidang PTUN keempat yang dilakukan pada tahun lalu (Yuliati, 2021).

Kerangka Konseptual

Karakteristik Konflik

Tulisan ini menggunakan Policy Conflict Framework (PCF) yang diperkenalkan oleh Weible & Heikkila (2017) dalam menjelaskan karakteristik kognitif dan perilaku dari episode konflik kebijakan yang mana hal tersebut sangat berkaitan dengan atribut policy setting dan efek feedback dari output dan outcome kebijakan. Tulisan ini akan menggunakan subset dari PCF yang berfokus pada hubungan antara atribut aktor kebijakan dalam policy setting dengan karakteristik kognitif dan perilaku konflik kebijakan (lihat Gambar. 1). Aspek lain dari policy setting (yaitu tingkatan sistem politik dan tindakan kebijakan, peristiwa atau event, dan isu kebijakan atau policy issue), serta feedback tidak akan dibahas pada tulisan ini. Alasannya, karena tulisan ini hanya akan berfokus terhadap policy setting atribut aktor yang terlibat dalam membentuk karakteristik dari konflik Wadas. Feedback dari output dan outcome kebijakan tidak dibahas lantaran hingga tulisan ini dibuat konflik Wadas masih berlangsung dan belum menemukan titik terang. Penjelasan lengkap mengenai definisi operasional subset PCF yang digunakan dapat dilihat pada table. 1.

Gambar 1. Diagram Alir Policy Conflict Framework Weible & Heikkila (2017)
Tabel 1. Definisi Konsep dari PCF

Pendekatan dalam Mengelola Konflik Kebijakan

Dalam menjelaskan perihal penanganan konflik wadas yang selama ini dilakukan oleh pemerintah, tulisan ini akan memperhatikan 3 aspek utama dalam sebuah penanganan konflik. Aspek pertama adalah prinsip penanganan konflik kebijakan. Pandangan umum tentang kebijakan publik didominasi oleh pandangan bahwa kebijakan tidak lebih dari instrumen teknis yang dimulai dari pendefinisian masalah secara objektif (Colebatch, 2015). Pemahaman seperti ini gagal memahami bahwa kebijakan juga tentang kontestasi kekuasaan yang hadir disetiap proses kebijakan (Barbahon et al, 2015). Karena kebijakan juga berada dalam realitas kontestasi kekuasaan, maka prinsip dalam penganganan konflik kebijakan mesti memperhatikan tiga hal yaitu nilai (value), kekuasaan (power), dan kepercayaan (trust).

Aspek kedua adalah berkaitan dengan negosiasi konflik. Perdebatan mengenai negosiasi paling tepat dalam suatu konflik dapat dibagi menjadi dua gagasan utama yaitu negosiasi distributif dan negosiasi integratif. Keduanya sama-sama berakar dari pemahaman game theory yang ditandai dengan adanya fitur utama berupa zero-sum dan non-zero-sum (Kersten, 2001). Negosiasi distributif mengambil posisi zero-sum diantara pihak yang bernegosiasi atau dengan kata lain menghasilkan pihak yang menang dan pihak yang kalah. Dalam situasi negosiasi distributif sumber daya yang diperebutkan diasumsikan bersifat tetap, inilah yang menyebabkan hanya akan ada satu pihak yang diuntungkan dari proses negosiasi (Lewicki et al, 1999). Sementara itu, negosiasi integratif mengambil posisi yang berlawanan dengan mengasumsikan sumber daya yang diperebutkan tidak bersifat tetap melainkan dapat berkembang. Kondisi inilah yang menyebabkan setiap pihak dapat sama-sama diuntungkan atau non-zero-sum.

Aspek terakhir adalah berkaitan dengan solusi penanganan dari konflik. Dalam lingkup studi perdamaian dan konflik terdapat perdebatan konseptual mengenai solusi penanganan konflik. Kedua konsep tersebut adalah apa yang disebut dengan resolusi konflik dan transformasi konflik. Diamond (1994) menjelaskan bahwa resolusi konflik mengacu pada upaya untuk menemukan, mengidentifikasi, dan menyelesaikan akar konflik. Sedangkan transformasi konflik mengacu pada upaya untuk mengubah kondisi yang menimbulkan akar penyebab konflik yang mendasarinya. Mengikuti definisi tersebut, maka aktivitas resolusi konflik adalah tentang penyelesaian masalah, sedangkan transformasi konflik adalah tentang menciptakan perubahan sosial (Botes, 2003). Aspek-aspek inilah yang akan digunakan sebagai pisau analisis membedah konflik Wadas.

Analisis dan Pembahasan

Karakteristik Konflik Wadas

Konflik kebijakan di Wadas disebabkan karena adanya konflik nilai dan kepentingan antara pemerintah dengan masyarakat. Pemerintah hendak mendistribusikan nilai dan sumber daya melalui pembangunan infrastruktur bendungan (termasuk seluruh aktivitas pendukung pembangunan yaitu penambangan material). Kehendak pemerintah tersebut bertolak belakang dengan kepentingan masyarakat Wadas yang ingin mempetahankan lahan mereka dari akusisi pemerintah. Bagi masyarakat Wadas, lahan yang mereka miliki adalah sumber daya sekaligus nilai yang berharga bagi mereka. Perbedaan inilah yang menenggarai konflik kebijakan di Wadas antara pemerintah dan masyarakat.

Jika mengacu pada tingkatan konflik dalam PCF, konflik yang terjadi di Wadas telah terjadi pada tingkatan subsistem kebijakan dan tindakan kebijakan. Mengikuti pendefinisian dari Sabatier & Jenkin-Smith (1999) subsistem kebijakan adalah area utama proses kebijakan yang mencakup masalah substantif dan perilaku antar aktor kebijakan dalam mempengaruhi jalannya proses kebijakan. Seperti yang dicontohkan Weible & Heikkila (2017) konflik dalam tingkatan subsistem dapat terjadi melalui perbedaan narasi dan framing yang dilakukan antar aktor kebijakan. Pada kasus konflik Wadas, pemerintah memunculkan narasi pro pembangunan dengan coba meyakinkan publik bahwa pembangunan yang dilakukannya adalah untuk menciptakan kesejahteraan. Penggusuran lahan masyarakat wadas menurut pemerintah adalah prasyarat untuk menciptakan kesejahteraan yang lebih baik. Pemerintah juga coba meyakinkan publik tentang bentuk tanggung jawabnya dengan memberikan “ganti untung” dari penggusuran lahan masyarakat Wadas. Konflik dalam subsistem tersebut kemudian berlanjut pada tingkatan tindakan kebijakan. Pada tingkatan ini, konflik bahkan muncul secara langsung dalam bentuk gesekan antara masyarakat Wadas dengan aparat pemerintah saat dilakukannya pengukuran tanah yang dilakukan pada bulan Februari lalu (Suryandika, 2022).

Perbedaan posisi kebijakan antara aktor yang berkonflik yaitu pemerintah dengan warga Wadas yang menolak penambangan di desanya dapat dilacak dari atribut keaktoran berupa intrapersonal dan interpersonal yang mereka miliki. Atribut intrapersonal meliputi aspek keyakinan inti (core beliefs) atau ideologi dan persepsi untung rugi diantara pihak yang berkonflik (Heikkila & Weible, 2017). Bagi pihak pemerintah, keyakinan inti atau ideologi yang mereka pegang dalam kasus Wadas ini tidak dapat terlepas dari apa yang disebut Warbuton (2016) sebagai new-developmentalism yang bercorak statist-nationalist. New-developemtalism merujuk pada gairah rezim pemerintahan Jokowi dalam melakukan percepatan pembangunan khususnya infrastruktur dengan berdasar pada pandangan peran negara kuat dan stabil dengan tujuan akhir untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Keyakinan semacam ini jelas sangat nampak dalam posisi pemerintah pada kasus konflik Wadas. Pemerintah sangat bersikeras bahwa pembangunan waduk yang didalamnya termasuk penambangan andesit di bumi Wadas adalah upaya terbaik untuk mempercepat pembangunan nasional dalam rangka menggapai pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya juga akan dinikmati oleh seluruh masyarakat termasuk warga Wadas (BBSO, 2022). Sementara itu, keyakinan inti (core beliefs) atau ideologi yang dimiliki warga Wadas adalah keyakinan untuk melindungi bumi Wadas yang mereka tinggali dari aktivitas merusak seperti pertambangan. Bagi mereka Bumi Wadas bukan hanya seputar lahan untuk mencari rezeki tetapi telah menjadi bagian tak terlepaskan dari kehidupan sosial dan budaya mereka selama ini. Perusakan terhadapnya sama dengan merenggut nilai kearifan lokal yang selama ini mereka pegang teguh. Selanjutnya, atribut intrapersonal lain adalah berkaitan dengan persepsi resiko untung rugi. Bagi pemerintah, jelas bahwa mereka diuntungkan jika penambangan dapat dilakukan di Desa Wadas sehingga pembangunan Bendungan Bener dapat berjalan lancar. Kelancaran dalam pembangunan tersebut menguntungkan pemerintah karena tujuan-tujuan pembangunan yang mereka gariskan dapat tercapai. Ini memunculkan kesan kesuksesan pemerintah dalam melakukan pembangunan di mata publik yang tentu dapat meningkatkan legitimasi mereka. Dari aspek risiko, kegagalan memanfaatkan Desa Wadas untuk pertambangan dapat mengganggu upaya mencapai tujuan pembangunan. Pemerintah harus mencari alternatif lain yang tentunya membutuhkannya banyak sumber daya dan tenaga. Sementara itu dari sisi masyarakat, keuntungan bagi mereka dirasakan apabila lahan mereka tidak jadi dialokasikan untuk pertambangan sehingga mereka dapat terus mengais rezeki dengan memanfaatkan hasil pertanian. Sedangkan dari segi resiko, apa yang dialami masyarakat tentu lebih buruk jika dibandingkan dengan risiko yang dialami pemerintah. Penggunaan lahan di Desa Wadas untuk pertambangan secara langsung menghilangkan sumber perekonomian sekaligus mengancam keberlangsungan hidup mereka karena potensi bencana yang menyelimutinya.

Atribut keaktoran selanjutnya adalah aspek interpersonal atau hubungan jejaring antar aktor dengan posisi kebijakan yang sama. Pada aspek ini, aktor pemerintah itu sendiri sejatinya adalah jejaring antar aktor lain yang dalam hal ini adalah pemerintah pusat, daerah, dan kabupaten. Jejaring antar aktor pemerintah tersebut disatukan dengan dasar hukum yang kuat atas nama Proyek Pembangunan Nasional (PSN) sebagaimana yang tertuang dalam PP Nomor 42 tahun 2021. Sementara itu, bagi masyarakat Wadas yang menolak, jejaring aktor terjadi karena adanya kesamaan nasib dan sesuatu yang sifatnya ideologis diantara mereka. Hal ini dapat diamati saat warga Wadas yang sama-sama akan kehilangan lahan membentuk organisasi solidaritas “Gempadewa”. Selain itu, warga Wadas juga aktif berkonsolidasi dan berjejaring dengan pihak eksternal seperti LBH dan organisasi pecinta lingkungan karena memiliki nilai yang sama untuk menciptakan keadilan hukum dan menjaga kelestarian lingkungan.

Dari policy setting yang dibahas sebelumnya (tingkatan konflik dan atribut aktor) menjadi determinan penting dalam mengondisikan cognitive characteristics dan behavioral characteristics dari konflik yang terjadi. Mengacu pada definisi konsep dalam Tabel 1 pembahasan tiga dimensi Cognitive characteristics yaitu: (1) Divergensi posisi kebijakan dalam konflik wadas dapat dikategorikan sebagai strong position divergence. Hal ini terjadi karena para aktor yang berkonflik memiliki core beliefs yang saling bertentangan. Pembangunan pemerintah yang didasarkan keyakinan new-developmentalism-nya sudah pasti mengusik lingkungan milik masyarakat Wadas yang itu sama saja dengan mengancam value lokalitas dan kepedulian lingkungan yang diyakini oleh masyarakat Wadas. Inilah yang menyebabkan kuatnya perbedaan posisi kebijakan diantara pemerintah masyarakat Wadas. (2) Para aktor dalam konflik wadas memiliki persepsi keterancaman yang kuat dari posisi kebijakan aktor lawan. Pemerintah merasa terancam dengan kegigihan penolakan masyarakat Wadas karena tanpa persetujuan mereka pemerintah tidak dapat menambang batu andesit di Desa Wadas, sedangkan masyarakat wadas merasa terancam dengan tekanan dari pemerintah untuk melepaskan lahan mereka karena itu sama saja dengan kehilangan sumber penghidupan yang mereka miliki selama ini.

Selanjutnya, terkait behavioral characteristics dari konflik Wadas, pihak pemerintah melakukan upaya secara langsung dengan membujuk masyarakat Wadas menggunakan iming-iming ganti rugi uang milyaran rupiah (Gladiaventa & Gewati, 2022). Iming-iming semacam ini juga digunakan pemerintah sebagai upaya tidak langsung melalui narasi untuk meyakinkan publik bahwa pemerintah telah bertanggung jawab. Selain itu, dalam beberapa kesempatan pemerintah juga melakukan tindakan represif melalui aparatnya. Hal ini misalnya terjadi saat pemerintah melakukan pengukuran lahan pada bulan Februari 2022 lalu. Sementara itu, masyarakat Wadas telah melakukan upaya secara tidak langsung dengan membangun koalisi gerakan bersama LSM dan aktivis yang memiliki kesamaan nilai dengannya. Tidak hanya itu, masyarakat Wadas juga sangat aktif dalam debat narasi dengan pemerintah melalui akun-akun media sosial yang mereka buat. Dalam upaya langsung, masyarakat Wadas juga berkali-kali melakukan aksi demonstrasi di berbagai tempat strategis dan melakukan blockade di lahan target penggusuran pemerintah. Pada akhirnya, perilaku pemerintah dan masyarakat Wadas ini juga berujung pada keengganan mereka untuk saling berkompromi satu sama lain.

Cognitive dan behavioral characteristics yang terjadi pada konflik Wadas dengan begitu menunjukkan intensitas konflik yang tinggi karena berbagai karakteristik yang disebutkan sebelumnya. Kondisi ini terjadi karena sejak awal atribut policy setting antara pihak yang berkonflik telah mengondisikan perbedaan posisi kebijakan, persepsi ancaman, dan keengganan untuk kompromi yang kuat. Gambaran mengenai cognitive dan behavioral characteristics yang menyebabkan kuatnya intensitas konflik wadas dapat dilihat pada diagram alir berikut:

Gambar 3. Diagram alir intensitas konflik Wadas

Usaha Pemerintah dalam Mengelola Konflik Wadas

Prinsip pengelolaan konflik oleh pemerintah selalu berkaitan dengan tiga hal yaitu nilai, kekuasaan, dan kepercayaan. Dalam konflik Wadas, pemerintah mengelola konflik dengan prinsip nilai yang cenderung hanya materialistis. Hal ini dapat ditemukan lagi-lagi dalam bentuk tanggung jawab pemerintah melalui “ganti untung” sebagai kompensasi bagi masyarakat Wadas yang diambil tanahnya. Persoalannya adalah lahan atau tanah bagi masyarakat Wadas tidak hanya bernilai material tetapi sudah melekat menjadi bagian penting dalam tradisi dan kearifan lokal yang mereka miliki. Inilah yang menyebabkan tawaran “ganti untung” dari pemerintah tidak menyelesaikan seluruh masalah yang menjadi tuntutan warga Wadas. Memang, dalam mengelola konflik pemerintah perlu untuk membawa tuntutan yang sifatnya abstrak (dalam hal ini adalah pemaknaan tanah bagi masyarakat Wadas) menjadi hal yang lebih konkret (dalam hal ini adalah ganti rugi pemerintah dalam bentuk uang). Akan tetapi usaha semacam ini tidak boleh dilakukan secara serampangan. Bagaimanapun pemerintah harus tetap menghargai dan mengakomodasi nilai-nilai yang melekat di masyarakat Wadas alih-alih mereduksi segalanya hanya dalam bentuk material saja. Ketidaksinkronan antara pandangan pemerintah dan masyarakat wadas dalam memaknai nilai tanah berujung pada konflik terbuka antara masyarakat dengan aparat pemerintah. Studi Setiawan (2022) menjelaskan bahwa pemerintah tidak segan untuk mengambil tindakan represif aparat ketika pemerintah sudah menemui jalan buntu. Jika mengacu pada pembahasan Hannah Arendt dalam bukunya “On Violence” (1970) yang menyatakan bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah adalah pertanda bahwa pemerintah tersebut tidak lagi memiliki kekuasaan karena kehilangan legitimasi dari masyarakat. Hilangnya legitimasi pemerintah dengan begitu juga berarti bahwa ada ketidakpercayaan dalam masyarakat terhadap pemerintah.

Prinsip pengelolaan konflik yang diadopsi pemerintah berdampak pada proses negosiasi yang terjadi antara pemerintah dengan warga Wadas. Mengutip hasil jumpa pers yang dilakukan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak pada 27 April 2022, narasi utama pemerintah dalam bernegosiasi dengan warga Wadas dapat dirangkum dalam beberapa poin yaitu:

a. Masyarakat Wadas akan mendapatkan ganti rugi tanah dalam bentuk uang yang nilainya melebihi harga pasaran sehingga masyarakat sangat diuntungkan.

b. Pemerintah hanya akan menambang sesuai kebutuhan untuk pembangunan bendungan Bener sehingga tidak akan merusak alam secara permanen

c. Proses penambangan akan melibatkan masyarakat lokal sehingga menambah pemasukan masyarakat

d. Pembangunan bendungan Bener memiliki kebermanfaatan yang juga akan dirasakan oleh masyarakat

Dari beberapa poin tersebut dapat disimpulkan bahwa pemerintah ingin meyakinkan bahwa kerugian yang didapatkan masyarakat tidak sebanding dengan kebermanfaatan yang akan diterima jika projek Bendungan Bener dan pertambangan berhasil dilaksanakan. Dengan kata lain, pemerintah menggunakan pendekatan negosiasi integratif karena percaya bahwa sumber daya (lahan wadas) dapat berkembang jika dikelola dengan baik oleh pemerintah sehingga menghasilkan kondisi saling menguntungkan antara pemerintah dengan masyarakat Wadas. Akan tetapi, pendekatan negosiasi integratif semacam ini khususnya dalam konteks pembangunan sangat kental dengan asumsi “trickle-down economics” yang percaya bahwa pembangunan adalah murni fenomena ekonomi dimana keuntungan cepat dari pertumbuhan ekonomi secara otomatis akan mendatangkan kesejahteraa (trickle down) kepada masyarakat luas. Sayangnya “trickle-down economics” hanyalah mitos (Arendt, 1983). Pada akhirnya tetes keuntungan terbesar dari pertambangan dan pembangunan tidak akan dinikmati oleh masyarakat Wadas sebagaimana yang dijanjikan. Hal ini diperparah mengingat bermasalahnya dokumen AMDAL dalam perencanaan pertambangan tersebut (CNN, 2022). Kondisi semacam ini merupakan pola umum yang terjadi hampir disetiap konflik pembebasan lahan. Dengan begitu, pandangan negosiasi integratif yang digunakan pemerintah dalam konflik Wadas itu sendiri sejatinya problematik, sehingga tidak heran jika masyarakat tetap gigih menolak negosiasi tersebut.

Jika kita cermati, sebenarnya pendekatan negosiasi integratif dalam konflik Wadas secara implisit memosisikan pemerintah sebagai wali masyarakat yang tahu sekaligus mampu untuk mengembangkan sumber daya yang diperebutkan (lahan Wadas) agar dapat menguntungkan semua pihak (apa yang terbaik). Dengan banyak mengadopsi teori “governmentality” Foucault, Tania Li (2007) menguraikan kecenderungan semacam ini sebagai kehendak untuk memperbaiki atau “the will to improve” yang dimiliki oleh pemerintah. Sialnya niat baik ini tidak berjalan mulus pada praktiknya karena kecenderungan pemerintah dalam “teknikalisasi permasalahan” dan mengabaikan aspek politis dari tuntutan masyarakat. Hal ini tidak berarti warga tidak dilibatkan dalam berbagai forum, dalam kasus Wadas audiensi bahkan sudah dilakukan sejah 2018 akan tetapi suara warga nyaris tidak pernah didengarkan (Setiawan, 2022) dan yang terjadi hanyalah “solomon trap” atau formalitas prosedur. Pertentangan inilah yang menyebabkan pengelolaan konflik oleh pemerintah dalam kasus Wadas justru berujung pada eskalasi konflik yang semakin panas.

Gambar 4. Diagram alir tahapan awal, negosiasi, dan eskalasi konflik Wadas

Saat eskalasi konflik semakin panas hingga terjadi konflik terbuka antara aparat dengan warga, pemerintah diwakili dengan pejabat publik seperti Gubernur Jawa Tengan Ganjar Pranowo turun tangan untuk berdialog langsung dengan warga yang menolak penambangan. Dalam kedatangannya Ganjar mengelak menjawab pertanyaan dan tuntuntan warga yang menolak dengan dalih masih akan mendengarkan lebih banyak aspirasi dan malah berpesan supaya warga pro dan kontra tetap menjaga kurukunan. Seolah yang terjadi di konflik Wadas adalah konflik horizontal antar masyarakat alih alih vertikal antara masyarakat dengan pemerintah. Selain itu, kedatangan Ganjar ke Wadas pasca konflik terbuka antara masyarakat dengan aparat lebih bertujuan untuk meminta maaf kepada masyarakat atas perlakuan represi aparat. Akar masalah konflik Wadas yaitu penolakan warga Wadas yang merasa terancam dengan penambangan andesit tidak disoroti dalam kesempatan tersebut.

Berangkat dari kejadian diatas, dapat dikatakan bahwa pemerintah hanya melakukan upaya resolusi konflik dalam kasus konflik Wadas. Perhatian pemerintah dalam hal ini hanyalah tentang bagaimana dapat berkompromi dengan masyarakat supaya mereka mau mengikuti kehendak pemerintah sehingga konflik dapat diakhiri. Kecenderungan semacam ini hanya menyasar penyelesaian jangka pendek dari konflik Wadas lantaran tidak menyelesaikan akar maslaah dari konflik tersebut. Padahal, yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah melakukan transformasi konflik yang berupaya untuk menyelesaikan akar dari kondisi yang menyebabkan konflik. Pertanyaan kunci bagi pemerintah seharusnya adalah tentang bagaimana membangun perekonomian warga Wadas yang berkelanjutan dan sejahtera dengan memanfaatkan potensi alam Wadas sebagaimana nilai yang mereka pegang teguh. Keseriusan pemerintah untuk melakukan transformasi dapat diawali dengan pelibatan secara inklusif warga Wadas dalam perundingan dan mendengarkan seluruh aspirasi mereka. Jika dalam proses tersebut warga tetap bersikeras menolak, maka pemerintah harus menghargai keputusan tersebut. Lagipula menurut Agung Wardhana pakar hukum lingkungan UGM dalam liputan Balairung (2022) menjelaskan bahwa justifikasi pemerintah untuk menambang andesit di Wadas hanya didasarkan atas hitungan ongkos lokasi. Selain itu, dalam dokumen AMDAL pembangunan Bendungan Bener juga sudah tertera beberapa alternatif lahan tambang batuan Andesit selain di Desa Wadas. Alasan menghemat ongkos lokasi dengan tetap menambang di Desa Wadas jelas tidak sebanding dengan konflik yang berlarut-larut akibat penolakan masyarakat Wadas. Tanpa adanya iktikad untuk melakukan transformasi konflik dengan proses yang inklusif-partisipatif, eskalasi konflik Wadas akan terus berlangsung dan yang paling dirugikan dari hal itu adalah masyarakat. Pemerintah harus mengubah cara pandanganya dalam mengelola konflik agar transformasi konflik dapat terlaksana.

Penutup

Argumen utama yang dibangun dalam tulisan ini adalah bahwa karakteristik konflik kebijakan pembangunan Bendungan Bener dan Penambangan Andesit di Desa Wadas memiliki tingkat intensitas konflik yang tinggi. Hal ini dikondisikan oleh atribut policy setting yang terjadi pada level subsistem dan tindakan kebijakan khususnya dalam atribut keaktoran kebijakan. Aktor-aktor yang berkonflik memiliki keyakinan (core beliefs) yang saling bertentangan dan tingkat persepsi risiko antar aktor yang sangat kuat. Akibatnya para aktor yang terlibat sama-sama bersikeras dengan posisi kebijakan mereka masing-masing. Kemudian, begeser pada perhatian tentang upaya pengelolaan konflik yang dilakukan pemerintah, tulisan ini berargumen bahwa pemerintah mengelola konflik dengan prinsip nilai yang sifatnya materialistis, kekuasaan yang represif, dan berujung pada ketidakpercayaan masyarakat Wadas terhadap pemerintah. Dalam proses negosiasi, pemerintah menggunakan pendekatan integratif dengan asumsi trickle-down economics yang tercipta dari pembangunan. Semua usaha tersebut menemui kebuntuan dan membuat pemerintah terjebak pada sekedar formalitas prosedur belaka (Solomon trap). Kegagalan tersebut memicu konflik terbuka antara masyarakat Wadas dengan aparat pemerintah. Untuk mengatasi eskalasi konflik tersebut pemerintah justru tetap bersikeras dengan pendiriannya dan tidak menggubris tuntutan warga Wadas. Alhasil upaya yang dilakukan pemerintah cenderung hanya mencari solusi secara instan dengan mengandalkan pendekatan resolusi konflik alih-alih transformasi konflik. Pendekatan semacam itu sama sekali tidak menyasar akar permasalahan dari kondisi yang menyebabkan konflik terjadi di Desa Wadas.

Penempatan konflik kebijakan sebagai pusat perhatian dalam pembacaan kasus Wadas pada tulisan ini melengkapi gap yang ditinggalkan dari kajian-kajian konflik sebelumnya yang hanya memposisikan konflik sebagai latar belakang atau penjelasan dari fenomena lain. Meskipun begitu, pengidentifikasian aktor yang terlibat konflik dalam kasus Wadas pada tulisan ini sebenarnya terlalu dikotomis dengan hanya melihat aktor yang berkonflik sebagai pemerintah dengan masyarakat Wadas yang kontra penambangan. Padahal yang disebut sebagai pemerintah sejatinya bukanlah entitas tunggal yang koheren memiliki satu tujuan yang sama yaitu pembangunan untuk kesejahteraan. Pemerintah itu sendiri merupakan entitas yang berada ditengah campur-aduk berbagai kepentingan elit politik-bisnis yang ada didalamnya. Implikasinya, produk pembangunan perlu dibongkar lebih lanjut untuk menilai faktor ekonomi-politik apa yang menggerakkan elit-elit tersebut untuk melakukan suatu pembangunan. Oleh sebab itu, pendekatan ekonomi-politik menjadi pisau analisis potensial yang dapat digunakan untuk mencermati secara kritis konflik kebijakan yang terjadi di Desa Wadas.

Daftar Pustaka

Artikel Jurnal

Arendt, H. (1970). On violence. Houghton Mifflin Harcourt.

Arndt, H. W. (1983). The” trickle-down” myth. Economic Development and Cultural Change, 32(1), 1–10.

Astoni, P. Y. (2022). Eksistensi Asas Pembangunan Berkelanjutan dalam hal Pengakuan dan Penghormatan kepentingan Desa pada Proyek Strategis Nasional (study case Konflik Desa Wadas). Jurnal Advokatura Indonesia, 1(1), 1–22.

Barbehön, M., Münch, S., & Lamping, W. (2015). Problem Definition and Agenda-Setting In Critical Perspective. In Handbook of critical policy studies. Edward Elgar Publishing.

Botes, J. (2003). Conflict transformation: a debate over semantics or a crucial shift in the theory and practice of peace and conflict studies?. International Journal of Peace Studies, 1–27.

Budiharto, I. (2022). Konflik Politik Agraria di Desa Wadas Pasca Rencana Pembangunan Bendungan Bener Kabupaten Purworejo Tahun 2018–2021 (Doctoral dissertation, Universitas Jenderal Soedirman).

Cairney, P. and Weible, C. 2015. Comparing and Contrasting Peter Hall’s Paradigms and Ideas with the Advocacy Coalition Framework. In Hogan J. and Howlett, M. (eds) Policy Paradigms in Theory and Practice: Discourses, Ideas and Anomalies in Public Policy Dynamics. London: Palgrave Macmillan, pp. 83–99.

Colebatch, H. K. (2005). Policy Analysis, Policy Practice and Political Science. Australian Journal of Public Administration, 64(3), 14–23.

Diamond, L. (1994). On developing a common vocabulary: The conflict continuum. Peace Builder, 1(4), 3–6.

Iqbal, M. (2022) Perempuan dalam Konflik Agraria: Politik Perlawanan Gempadewa (Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas) dalam Menolak Penambangan Quarry Di Desa Wadas Kabupaten Purworejo. S1 thesis, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Kersten, G. E. (2001). Modeling distributive and integrative negotiations. Review and revised characterization. Group Decision and Negotiation, 10(6), 493–514.

Lewicki, R. J., and D. M. Saunders et al. (1999). Negotiation. Boston, MA: McGraw-Hill.

Li, T. M. (2007). The will to improve: Governmentality, development, and the practice of politics. duke university Press.

Nursalim, N., & Riyono, S. (2022). Analisis Perlawanan Perempuan Terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penambangan Batu Andesit di Desa Wadas. Mimbar Administrasi FISIP UNTAG Semarang, 19(1), 32–49.

Sabatier, P. A. (1999). Theories ofthe policy process. WestviewPress: Boulder, CO, 117166.

Setiawan, A. (2022). Transformasi Hukum Profetik dalam Nilai-nilai Pancasila Ditinjau dari Konflik Desa Wadas. Al Daulah: Jurnal Hukum Pidana dan Ketatanegaraan.

Warburton, E. (2017). Jokowi and the new developmentalism. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 52(3), 297–320.

Weible, C. M., & Heikkila, T. (2017). Policy conflict framework. Policy Sciences, 50(1), 23–40.

Weible, C. 2005. Beliefs and Perceived Influence in a Natural Resource Conflict: An Advocacy Coalition Approach to Policy Networks. Political Research Quarterly, Vol. 58, (3), pp. 461–475.

Website atau Laman Media Digital

Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak. (2022). Aliansi Solidaritas untuk Wadas Tuntut Pemerintah Cari Tambang Alternatif. Laman resmi Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR. Diakses dari: https://sda.pu.go.id/balai/bbwsserayuopak/pembangunan-bendungan-bener-berikan-banyak-manfaat-bagi-masyarakat/ 23 Juni 2022

CNN Indonesia. (2022). LBH Jogja: Pak Ganjar Itu Datang ke Wadas Cuma Pencitraan. Koran Digital CNN Indonesia. Diakses dari: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220211090740-12-757839/walhi-jogja-sebut-tak-ada-amdal-tambang-di-wadas 23 Juni 2022

Farasonalia, R. (2022). Alasan Desa Wadas Jadi Lokasi Penambangan Batu Andesit untuk Proyek Bendungan Bener. Koran digital Kompas. Diakses dari: https://regional.kompas.com/read/2022/02/12/181221378/alasan-desa-wadas-jadi-lokasi-penambangan-batu-andesit-untuk-proyek?page=all. 23 Juni 2022

Gladiaventa, F.A. (2022). Tanahnya Diganti Rugi Miliaran Rupiah oleh Pemerintah, Warga Wadas Mendadak Jadi Miliarder. Koran Digital Kompas. https://regional.kompas.com/read/2022/05/20/15323101/tanahnya-diganti-rugi-miliaran-rupiah-oleh-pemerintah-warga-wadas-mendadak 23 Juni 2022

Haryanto, D.A. (2022). Enam Tahun Polemik Wadas, Ganjar Datang tanpa Kepastian. Balairungpress UGM. Diakses dari: https://www.balairungpress.com/2022/02/enam-tahun-polemik-wadas-ganjar-datang-tanpa-kepastian/ 23 Juni 2022

Setiawan, S.D. (2022). LBH Yogyakarta: Penolakan Warga Desa Wadas Sudah Disuarakan Sejak 2018. Koran Digital Republika. Diakses dari: https://www.republika.co.id/berita/r7co6p330/lbh-yogyakarta-penolakan-warga-desa-wadas-sudah-disuarakan-sejak-2018 23 Juni 2022

Sulistya A.R., Maulana I., Prastica,L. (2022). Aliansi Solidaritas untuk Wadas Tuntut Pemerintah Cari Tambang Alternatif. Balairungpress UGM. Diakses dari: https://www.balairungpress.com/2022/03/aliansi-solidaritas-untuk-wadas-tuntut-pemerintah-cari-tambang-alternatif/ 23 Juni 2022

Suryandika R. (2022). Proses Pengukuran Tanah di Desa Wadas Disarankan Dihentikan Sementara. Koran digital Republika. Diakses dari: https://www.republika.co.id/berita/r71bm1436/proses-pengukuran-tanah-di-desa-wadas-disarankan-dihentikan-sementara 23 Juni 2022

Yuliati, Y. (2022). Sidang PTUN Keempat Wadas, Ganjar Digugat Soal Pelanggaran HAM. Balairungpress UGM. Diakses dari: https://www.balairungpress.com/2021/08/sidang-ptun-keempat-wadas-ganjar-digugat-soal-pelanggaran-ham/ 23 Juni 2022

Undang-Undang Pemerintah

Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2021 Tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional. Diakses dari:https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/161962/pp-no-42-tahun-2021#:~:text=PP%20ini%20mengatur%20mengenai%20fasilitas,konstruksi%2C%20dan%20operasi%20dan%20pemeliharaan. Pada 23 Juni 2022

--

--

Maulana Aji Negara
Maulana Aji Negara

Written by Maulana Aji Negara

Mahasiswa Manajemen dan Kebijakan Publik FISIPOL UGM

No responses yet