Mencari yang ‘Merdeka’ dari Kebijakan “Kampus Merdeka”
Bagian 2
Relasi Kuasa dan Hubungan Principal-Agent dalam Kebijakan MBKM
Pada bagian selanjutnya kita perlu untuk melihat aktor-aktor yang terlibat dalam kebijakan MBKM. Lagi-lagi perlu ditekankan bahwa kebijakan publik tidak muncul dalam ruang hampa, dia selalu lahir dan hadir dalam arena berbagai kepentingan aktor atau kelompok yang seringkali saling bertentangan. Namun pemahaman ini seringkali dilupakan atau bahkan sengaja diabaikan. Dalam konteks MBKM narasi yang digulirkan adalah bagaimana kebijakan ini adalah wujud tata kelola pentahelix dimana perguruan tinggi memiliki peran sebagai mata air bagi industri, dunia usaha, masyarakat dan pembangunan bangsa[1]. Namun narasi tersebut cenderung kontradiktif dengan logika utama yang dibangun dalam kebijakan MBKM yaitu dalam rangka menciptakan link and match hanya dengan dunia usaha atau industri. Tidak disebutkan misalnya kebijakan MBKM adalah juga dalam rangka link and match lulusan mahasiswa dengan permasalahan struktural sosial-ekonomi-politik di masyarakat. Tidak bermaksud mengabaikan adanya program pembangunan desa dan pengabdian masyarakat dalam MBKM, namun semua itu tidak lebih dari komplemen dimana fitur utama dari kebijakan ini tetap dalam rangka mensinkronkan pendidikan dengan dunia kerja. Sehingga alih-alih penta helix kebijakan ini lebih cocok dilihat sebagai mode triple helix yaitu hubungan antara pemerintah-swasta-perguruan tinggi.
Model triple helix dalam konteks pendidikan tinggi cukup dipopulerkan oleh Etzkowitz (2003) yang dipercaya mampu menjawab tantangan inovasi di dunia yang bergerak semakin cepat. Konsep utama model ini adalah adanya “ilmuwan wirausaha” yang memiliki kapasitas akademis namun tidak ragu untuk turut berpartisipasi dalam kepentingan industri. kebijakan MBKM sangat sesuai dengan model ini, dimana didalamnya diandaikan terjadi hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara industri-pemerintah-perguruan tinggi. Sayangnya, pengandaian tersebut terlalu naif dalam memandang relasi masing-masing aktor. Memang, ada kecenderungan dalam disiplin ilmu administrasi publik dan kebijakan publik untuk menjadikan model seperti triple helix, penta helix, dan berbagai helix yang lain sebagai senjata pamungkas untuk menguraikan dan merancang sistem tata kelola yang baik dan ‘publik’. Model semacam ini hanya melihat realitas dengan perspektif struktural-fungsional yang mengasumsikan setiap aktor berada pada posisi setara atau setidaknya jika ada perbedaan yang terjadi adalah pertukaran sumber daya yang pada akhirnya mengarah pada titik equilibrium sehingga setiap aktor dapat menjalankan fungsinya masing-masing. Akan tetapi pada praktek dan implementasinya setiap aktor tidak berada di posisi yang setara, tidak seragam secara kepentingan dan yang dimaksud mencapai titik equilibrium bisa jadi adalah dengan mengorbankan atau menekan aktor yang lainnya. Dalam konteks kebijakan MBKM, perguruan tinggi sudah jelas menjadi pihak yang paling lemah dibandingkan dengan pemerintah dan swasta.
Sebelum terjadi proses neoliberalisasi, perguruan tinggi sudah banyak diposisikan oleh para ahli sebagai agent yang mengimplementasikan kebijakan pemerintah yang berperan sebagai principal karena dirinya adalah pihak yang memiliki sumber daya utama (Lane & Kivisto, 2008). Sekarang, sektor swasta hadir sebagai pihak yang memiliki sumber daya dan secara aktif juga berperan dalam pendanaan bagi pihak perguruan tinggi. Artinya saat tidak hanya pemerintah yang menjadi principal, sektor swasta juga menjadi principal sedangkan perguruan tinggi tetap menjadi agent. Semua itu terjadi karena ada ketimpangan relasi kuasa diantara ketiganya. Kebijakan MBKM yang sangat percaya pada penta helix yang sebenarnya lebih cocok disebut triple helix cenderung mengabaikan ketimpangan relasi kuasa tersebut yang pada akhirnya juga menolak adanya relasi principal-agent dalam pengimplementasiannya yang lahir dari ketimpangan kuasa tersebut. Pada implementasinya, tuntutan yang kuat dari adanya indikator-indikator penilaian, dana-dana insentif yang menggiurkan, serta iklim kompetisi yang mengekang pada akhirnya memberi peluang perguruan tinggi untuk melakukan kecurangan dan manipulasi untuk kepentingannya sendiri. Hal ini pun sudah terjadi sejak lama, bahkan sebelum adanya kebijakan MBKM. ‘Permainan’ dalam akreditasi dan penilaian lainnya sudah marak terjadi sejak awal penetrasi neoliberal masuk di ranah perguruan tinggi pasca orde baru (Rosser, 2015). Hal ini wajar terjadi karena perguruan tinggi sebagai agent memiliki keuntungan informasional dibandingkan dengan principal yang tidak pernah tahu apakah para agent benar-benar melakukan sesuai dengan tugasnya (Braun & Guston, 2003). Situasi ini berpeluang lebih marak terjadi dibawah kebijakan MBKM yang menghadirkan kompetisi secara lebih ektrem melalui mekanisme insentif dan penilaiannya.
Ketimpangan dan Alienasi yang Dilembagakan
Sejak tadi, pembahasan dalam tulisan berfokus pada identifikasi kebijakan MBKM yang terbukti memiliki corak neoliberal. Penting bagi kita untuk memprediksi bagaimana dampak laten dan jangka panjang yang ditimbulkan dari implementasi kebijakan MBKM. Bagian ini akan berfokus dalam mengeksplorasi dua dampak dari kebijakan yang bercorak neoliberal yaitu ketimpangan dan alienasi (keterasingan) yang justru dilembagakan oleh kebijakan MBKM.
Yang pertama adalah ketimpangan. Ketimpangan selalu ada dalam tatanan kebijakan neoliberal (Sowels, 2019) bahkan secara tidak sadar seringkali mendapat justifikasi moral dalam masyarakat yang kapitalistik (Azevedo et al, 2019). Seperti yang dijelaskan di awal, bahwa logika neoliberal dalam dunia pendidikan berangkat dari pemahaman bahwa keberhasilan seseorang hanya ditentukan dan hanya menjadi tanggung jawab individu. Tatanan seperti ini sangat percaya pada mitos meritokrasi bahwa kesuksesan ditentukan oleh kegigihan usaha setiap orang dan mengabaikan masalah struktural seperti ketimpangan ekonomi. Maka dari itu kebijakan pendidikan dalam logika neoliberal berfokus pada kebebasan tiap individu untuk memilih pendidikan apa yang menurutnya cocok, namun di satu sisi juga menjalankan privatisasi dan marketisasi pendidikan yang berdampak pada tingginya biaya pendidikan. Kedua hal ini bersifat kontradiktif, karena kebebasan individu dalam pendidikan tidak akan dijangkau setiap orang jika biaya pendidikan itu sendiri sangatlah tinggi.
Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa tingkat kualitas perguruan tinggi di Indonesia sangatlah timpang baik dari segi mutu maupun fasilitas penunjangnya (Rakhmat & Widjaya, 2018). Kebijakan MBKM justru tidak menunjukkan inisiasi untuk menguraikan masalah struktural ini tetapi malah menjalankan iklim kompetisi ketat bercorak pasar yang terpaksa harus dijalankan oleh setiap universitas terlepas seberapa parahnya ketimpangan diantara mereka. Dapat kita prediksi, kampus-kampus bonavit yang terkonsentrasi di pulau Jawa tentu akan memiliki peluang keuntungan lebih besar dalam kebijakan MBKM seperti dalam hal pencarian mitra pendanaan, riset dan inovasi, dan persaingan dalam mempertinggi indikator kinerja. Padahal semakin baik nilai dan citra perguruan tinggi dalam kompetisi tersebut semakin banyak pula insentif dan peluang kolaborasi dengan pihak non-negara yang diterimanya. Dengan kata lain, kemungkinan hanya kampus-kampus bonavit di Pulau jawa dan mayoritas negeri yang akan mendapatkan keuntungan penuh dari kebijakan ini. Kampus-kampus dengan grade rendah di daerah pinggiran akhirnya tertatih-tatih dalam kompetisi perguruan tinggi terbaik dan ‘berkualitas global’. Pada akhirnya, dilema ini membuka peluang manipulasi penilaian atau yang lebih parah adalah dengan memanfaatkan kemudahan menjadi PTN-BH sebagai sarana untuk menarik biaya mahal dengan dalih peningkatan mutu kualitas agar dapat bersaing.
Yang kedua adalah keterasingan. Dalam konteks ini, keterasingan adalah produk kapitalisme neoliberal yang memperjelas hubungan antara pasar dan kebutuhan akan identifikasi diri yang terkonstruksi (Wrenn, 2014). Di dunia yang bercorak neoliberal seluruh dimensi kehidupan dituntun oleh logika ekonomi-kapitalistik yang menjadikan pasar sebagai komando utamanya. Saat ini, persoalan gaya hidup, mode dan penampilan sangat ditentukan selera pasar dan menjadi nilai baru yang menggantikan nilai kebijaksanaan, kearifan, kesederhanaan, dan terkadang bahkan kemanusiaan. Dalam konteks pendidikan, kebijakan neoliberal turut mengkonstruksi pendidikan apa yang ‘ideal’ dan ‘baik’. Makna pendidikan yang seharusnya bermakna emansipatoris dan membebaskan setiap individu untuk belajar, berefleksi, dan berkreasi justru dikekang oleh belenggu konstruksi apa yang ‘ideal’ dan ‘baik’ menurut pasar. Begitu juga yang terjadi di implementasi kebijakan MBKM, dimana ‘merdeka’ yang dimaksud tidak lain hanyalah kebebasan memilih apa yang sudah dipilih (re: dikonstruksi) pasar. Tujuan link and match pendidikan tinggi dengan dunia kerja dalam MBKM secara tidak langsung telah menyingkirkan studi-studi yang dinilai tidak laku di pasar kerja. Hal tersebut ditambah dengan nyaringnya narasi-narasi tentang “Revolusi Industri 4.0”, “Ekonomi digital”, “Smart City”, dan berbagai narasi bernuansa teknologi lainnya yang setiap hari diproduksi oleh retorika pejabat dan politisi di negeri ini. Akhirnya, mahasiswa maupun dosen yang memiliki bakat dan minat terhadap studi-studi yang dianggap remeh oleh pasar seperti sejarah, filsafat, sastra, dan yang lainnya seolah terasingkan karena dianggap tidak bernilai bagi masyarakat dan juga tidak memiliki kuasa untuk menggugat hal ini. Sehingga, para civitas akademika yang berkenaan langsung dengan kebijakan MBKM dan kebetulan memiliki minat di luar selera pasar mengalami keadaan alienasi atau keterasingan. Alieanasi yang mereka rasakan dalam konteks ini termasuk dalam dimensi yang disebut oleh Tummers (2017) sebagai “operational powerlessness” yaitu kurangnya kebebasan untuk menentukan pilihan dan “societal powerlessness” yaitu persepsi tentang kurangnya nilai kebijakan untuk tujuan yang relevan secara sosial. Kondisi ini juga dialami oleh mereka yang memiliki nalar kritis dan memiliki pandangan lain di masyarakat yang telah terkonstruksi dengan nilai neoliberal yang dianggap sebagai akal sehat (common sense). Penelitian yang cukup relevan dengan bahasan keterasingan pernah di lakukan di Indonesia oleh Gaus & Hall (2015) yang menemukan kontradiksi dari kebijakan pendidikan bercorak neoliberal terhadap motivasi intrinsik mereka yang pada ujungnya berpengaruh pada perasaan krisis identitas akademik.
Siapa yang Diuntungkan?
Pada akhirnya kita perlu bertanya, siapa yang diuntungkan dan yang paling diuntungkan dari kebijakan MBKM? Untuk pihak yang diuntungkan, telah sempat dibahas di bagian sebelumya. Yaitu mereka yang memiliki kesempatan, siap secara keuangan, berkuliah di perguruan tinggi bonavit di Pulau Jawa, dan secara kebetulan atau mungkin memang pragmatik memiliki minat dan bakat yang sejalan dengan kebutuhan pasar. Mereka-mereka ini jelas mendapatkan berkah dari adanya kebijakan MBKM, karena mereka mau dan mampu untuk berkompetisi di iklim neoliberal dari kebijakan MBKM.
Pihak selanjutnya, yang paling diuntungkan dari adanya kebijakan ini adalah para elit bisnis yang kebanyakan juga elit politik yang menguasai dunia usaha dan industri di Indonesia karena memiliki modal tinggi. Elit-elit ini tentu mendapatkan keuntungan paling banyak, karena keberhasilan implementasi kebijakan MBKM dapat mencetak tenaga kerja yang tidak hanya terspesialisasi dan siap kerja tapi juga tumpul secara nalar kritis karena dalam proses pendidikannya dikekang oleh konstruksi pasar. Memang sistem pendidikan yang menjadikan pasar sebagai orientasi utama dalam tatanan neoliberal berdampak pada hilangnya ruang kebebasan akademik (Haekal & Shalahuddin, 2020) yang pada akhirnya melenyapkan kemampuan berpikir kritis karena kelas-kelas tidak lebih dari ruang indoktrinasi yang steril (Apple, 2004 dalam Saunders, 2007).
Perlu diperhatikan bahwa kebijakan MBKM ini lahir hampir bebarengan dengan kebijakan UU Cipta Kerja yang mendapatkan penolakan hebat oleh berbagai elemen masyarakat karena disinyalir dapat mengkebiri hak-hak pekerja. Hal ini menambah rumit keadaan, karena pendidikan yang diposisikan sebagai massification yang mencetak pekerja patuh dalam kebijakan MBKM bertemu dengan kebijakan UU Cipta Kerja yang memotong hak-hak pekerja dan lebih banyak menguntungkan elit bisnis-politik. Dapat dibayangkan, elit-elit ini mendapatkan keuntungan dari banyaknya tenaga kerja terspesialisasi, murah karena tidak banyak hak yang harus dipenuhi, dan bungkam secara mentalitas karena dicetak dari mesin pendidikan yang mereduksi makna pendidikan. Benar-benar kombinasi dua kebijakan yang sangat neoliberal dan semakin mengokohkan permasalahan struktural ekonomi serta distopia demokrasi di Indonesia.
Refleksi: Apa yang Seharusnya Diperjuangkan?
Uraian pembahasan ekonomi-politik dalam implementasi kebijakan MBKM seolah mengingatkan memori kelam kita akan pengalaman 30 tahun pendidikan tinggi yang dibajak orde baru sebagai instrumen pendukung pembangunan (Dhakidae & Hadiz, 2006) yang hanya menguntungkan kroni pemerintahan Soeharto pada waktu itu. Sekalipun rezim tersebut telah tumbang, dan telah terjadi perubahan kelembagaan yang mengarah ke pemerintahan yang lebih demokratis, hal itu tidak semerta-merta mengubah karakter kekuasaan yang diwariskan dari rezim otoritarian orde baru (Kusman, 2017). Dalam dunia pendidikan, jika di era orde baru pendidikan tinggi dikooptasi negara untuk melegitimasi kekuasaannya, hari ini pendidikan tinggi telah dibajak oleh hegemoni neoliberal yang menkultuskan pasar yang pada akhirnya juga hanya mengkonsentrasikan kesejahteraan di segelintir orang. Yang mana segelintir orang ini adalah mereka elit bisnis-politik yang kebanyakan juga lahir dan memiliki kuasa akibat rezim orde baru.
Tulisan ini memang tidak menawarkan solusi konkret atau alternatif kebijakan lain yang dapat ditandingkan. Karena terkadang masalah kita bukanlah bagaimana mengerjakan apa yang benar tetapi mengetahui apa yang benar. Tulisan ini pun juga tidak ditujukan untuk mendiskreditkan atau meremehkan pentingnya aspek pragmatis dari tujuan pendidikan. Akan tetapi sungguh ironi jika pendidikan hanya bertujuan mencetak manusia-manusia individualistis, materialistik, konsumtif, dan tunduk patuh dalam menggerakkan roda ekonomi yang tidak benar-benar menguntungkan semua pihak termasuk diri mereka sendiri. Kebijakan MBKM yang digadang sebagai oase dari keterpurukan pendidikan tinggi di Indonesia nyatanya hanya mengemas nilai-nilai neoliberalisme pendidikan dalam bentuk yang baru. Dalam implementasinya, kebijakan ini tidak benar-benar mampu menyelesaikan masalah yang ada, bahkan justru menambah masalah karena melembagakan ketimpangan dan keterasingan. ‘Merdeka’ yang dijanjikan nyatanya hanyalah kebebasan semu dalam naungan logika pasar di tatanan neoliberalisme pendidikan. Padahal ‘merdeka’ yang dibutuhkan dalam pendidikan tinggi hari ini adalah memastikan pemerataan akses pendidikan, peningkatan kualitas dan kesejahteraan bagi guru pengajar, serta membangun iklim akademik yang kritis, bebas, dan inklusif. Pada akhirnya, lagi-lagi perlu kita sadari bahwa pendidikan tidak pernah netral. Justru pendidikan harus secara tegas mengambil posisinya dalam menjunjung nilai kebenaran, mencitakan keadilan, dan membela mereka yang rentan.
Footnote
[1] Lihat LLDIKTI, “Merajut Ekosistem Pentahelix melalui Merdeka Belajar: Kampus Merdeka”. https://lldikti1.ristekdikti.go.id/details/apps/2332
REFERENSI
Andrew Rosser (2015): Neo-liberalism and the politics of higher education policy in Indonesia, Comparative Education, DOI: 10.1080/03050068.2015.1112566
Azevedo, F., Jost, J. T., Rothmund, T., & Sterling, J. (2019). Neoliberal ideology and the justification of inequality in capitalist societies: Why social and economic dimensions of ideology are intertwined. Journal of Social Issues, 75(1), 49–88.
Braun, D., & Guston, D. H. (2003). Principal-agent theory and research policy: an introduction. Science and public policy, 30(5), 302–308.
Burford, J., & Mulya, T. W. (2019). Neoliberalism in Thai and Indonesian universities: Using photo-elicitation methods to picture space for possibility. In Resisting Neoliberalism in Higher Education Volume II (pp. 219–245). Palgrave Macmillan, Cham.
Cannella, G. S., & Koro-Ljungberg, M. (2017). Neoliberalism in higher education: Can we understand? Can we resist and survive? Can we become without neoliberalism?. Cultural Studies. Critical Methodologies, 17(3), 155–162.
Etzkowitz, H. (2003). Innovation in innovation: The triple helix of university-industry-government relations. Social science information, 42(3), 293–337.
Farinha, L., & Ferreira, J. J. (2013). Triangulation of the triple helix: a conceptual framework. Triple Helix Association, Working Paper, 1.
Gaus, N., & Hall, D. (2015). Neoliberal governance in Indonesian universities: the impact upon academic identity. International Journal of Sociology and Social Policy.
Gyimah, Sam. 2018. “Delivering Value for Money in the Age of the Student”. Department for Education, June 7. Diakses pada 5 April, 2021. https://www.gov.uk/government/speeches/deliveringvalue-for-money-in-the-age-of-the-student.
Hadiz, V., & Dhakidae, D. (2006). Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta. Equinox.
Haekal, L., & Shalahuddin, A. (2020). Merebut Kembali Ruang Akademik: Penetrasi Neoliberalisme dan Institusi Kekuasaan Terhadap Kebebasan Akademik Kampus. Yogyakarta. Akademi Amartya.
Kemdikbud. (2020). Buku Panduan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemdikbud RI. diakses dari: http://dikti.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2020/04/Buku-Panduan-Merdeka-Belajar-Kampus-Merdeka-2020
Kusman, A.P. (2017). Kuasa Oligarki dan Posisi Masyarakat Sipil: Relasi antara Intelektual dan Kekuasaan dalam Politik Indonesia Pasca-Otoritarianisme. Prisma, 36(1), pp. 148–160
Lane, J. E., & Kivisto, J. A. (2008). Interests, information, and incentives in higher education: Principal-agent theory and its potential applications to the study of higher education governance. In Higher education (pp. 141–179). Springer, Dordrecht.
Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Kemdikbud. (2021). “Kedaireka Outlook : Perguruan Tinggi Membuka Peluang bagi Industri, Dunia usaha, dan Dunia Kerja”. LLDIKTI Kemdikbud, 5 Februari 2021. Diakses dari: https://lldikti9.kemdikbud.go.id/berita/detail/kedaireka-outlook--perguruan-tinggi-membuka-peluang-bagi-industri-dunia-usaha-dan-dunia-kerja pada 5 April 2021
Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Kemdikbud. (2020). “Transformasi Dana Pemerintah Untuk Pendidikan Tinggi Dalam Merdeka Belajar — Kampus Merdeka”. LLDIKTI Kemdikbud, 4 November 2020. Diakses dari: https://lldikti9.kemdikbud.go.id/berita/detail/transformasi-dana-pemerintah-untuk-pendidikan-tinggi--dalam-merdeka-belajar--kampus-merdeka pada 5 April 2021
Matthew Evans (2020): Navigating the neoliberal university: reflecting on teaching practice as a teacher-researcher-trade unionist, British Journal of Sociology of Education, DOI: 10.1080/01425692.2020.1748572
Purwanti, E. (2021, January). Preparing the Implementation of Merdeka Belajar–Kampus Merdeka Policy in Higher Education Institutions. In 4th International Conference on Sustainable Innovation 2020–Social, Humanity, and Education (ICoSIHESS 2020) (pp. 384–391). Atlantis Press.
Rakhmat, M.Z., & Widjaja, A. (2018). “Indonesia’s Unequal Higher Education”. Asia Sentinel, 4 Mei 2018. Diakses dari: https://www.asiasentinel.com/p/indonesia-unequal-higher-education pada 5 April 2021
Rao, S. (2013). Political economy analysis for economic and private sector reforms. GSDRC. diakses dari: http://ww.businessenvironment.org/dyn/be/docs/263/GSDRC2013.pdf
Read, J. (2009). A genealogy of homo economicus: Neoliberalism and the production of subjectivity. Foucault Studies, 6, 25–36.
Saunders, D. (2007). The impact of neoliberalism on college students. Journal of College and Character, 8(5).
Sowels, N. (2019). Changes in Official Poverty and Inequality Rates in the Anglophone World in the Age of Neoliberalism. Angles. New Perspectives on the Anglophone World, (8).
Toyibah, D. (2020). Neoliberalism and inequality in higher education.In Proceedings of the 1st International Conference on Recent Innovations (ICRI 2018), pages 1590–1597. DOI: 10.5220/0009932415901597
Tummers, L. (2017). Bureaucracy and policy alienation. Global Encyclopedia of Public Administration, Public Policy, and Governance (3rd edition), edited by A. Farazmand (ed.), 1–8.
Wrenn, M. (2014). Identity, identity politics, and neoliberalism. Panoeconomicus, 61(4), 503–515.