Mencari yang ‘Merdeka’ dari Kebijakan “Kampus Merdeka”

Maulana Aji Negara
8 min readApr 10, 2021

--

Bagian 1

Pendahuluan

Pendidikan adalah kotak pandora yang berisikan nyala harapan bagi tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Tidak heran jika pendidikan selalu menjadi aspek krusial yang terus menerus dikembangkan, dimajukan, dan dibenahi oleh setiap negara bangsa di dunia. Berbagai kebijakan pendidikan sering silih berganti dalam dinamika suatu pemerintahan entah itu terjadi karena memang dilandasi alasan yang substantif ataupun hanya sebagai retorika politik dan upaya meninggalkan legacy dalam suatu rezim pemerintahan. Dalam dinamika sejarah Indonesia, kebijakan pendidikan hampir selalu mengalami perubahan di setiap rezim yang berkuasa. Terlepas apakah perubahan tersebut kontraproduktif atau tidak, hal tersebut dapat dibaca sebagai pertanda bahwa pendidikan dengan kebijakan pendidikan tidaklah netral. Ia tidak netral karena setiap pengetahuan yang didengungkan dalam pendidikan, para pendidiknya, maupun institusi pendidikan memiliki dimensi politis karena memuat visi tentang kehidupan manusia, masyarakat, dan budaya yang diperujuangkan. Justru karena dia tidak netral, maka pendidikan dapat menjadi nyala harapan. Namun juga karena dia tidak netral, pendidikan juga dapat menjadi distopia apabila pendidikan justru mewakili hasrat predatoris yang menjegal nilai kemanusiaan dan keadilan.

Belum lama, yaitu pada bulan Februari 2020, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim meluncurkan kebijakan “Merdeka Belajar-Kampus Merdeka” atau MBKM. Tujuan utama MBKM adalah memberikan kebebasan atau otonomi kepada perguruan tinggi agar, mandiri, tidak birokratis, dan inovatif yang pada akhirnya mencetak lulusan mahasiswa yang berkualifikasi tinggi (Purwanti, 2020). Kebijakan MBKM digadang-gadang sebagai jawaban atas berbagai carut-marut pendidikan di Indonesia yang oleh banyak pihak dinilai tidak relevan karena tidak ada link and match dengan dunia kerja. Kebijakan ini pun juga hadir sebagai jawaban atas janji politik Presiden Jokowi yang menyatakan bahwa pembangunan SDM adalah fokus utama pada periode keduanya. Kebijakan ini juga lahir di tengah reproduksi narasi pemerintah tentang Revolusi Industri 4.0, bonus demografi, dan Indonesia Emas 2045. Semua itu diasumsikan saling terkait dimana keberhasilan pendidikan dibayangkan dapat mewujudkan cita-cita dari setiap narasi tersebut.

Tulisan ini bertujuan untuk menguji atau mungkin mencari yang ‘merdeka’ dari kebijakan “Merdeka Belajar-Kampus Merdeka”. Argumen utama yang dibangun adalah bahwa kebijakan MBKM tidak lebih dari bentuk baru dari penetrasi neoliberalisme dalam kancah pendidikan khususnya pendidikan tinggi di Indonesia yang pada akhirnya sekalipun implementasinya itu sudah baik namun itu tidak akanbenar-benar menyelesaikan masalah yang utama namun justru melembagakan ketimpangan dan keterasingan dalam pendidikan d Indonesia. Alih-alih membangun kultur akademik yang bebas, inklusif dan kritis, ‘merdeka’ dalam MBKM hanya merujuk pada kebebasan mahasiswa untuk memilih apa yang ingin dia pelajari dan kebebasan universitas dalam hal-hal administratif seperti akreditasi serta kebebasannya untuk mencari dana dan bermitra dengan pihak luar. Tidak ada yang benar-benar merdeka secara substantif dalam kebijakan ini, MBKM hanya kemasan baru dari logika neoliberalisme di pendidikan tinggi yang memandang pendidikan hanya dari aspek pragmatik ekonomi sehingga pendidikan tidak lebih dari investasi tiap individu untuk mendapatkan pekerjaan. Perlu dicatat bahwa dalam dekade terakhir, para ahli telah cukup dalam mengkaji penetrasi neoliberalisme di sektor pendidikan tinggi(Gaus & Hall, 2015; Rosser, 2015; Burford & Mulya, 2018; Toyibah, 2018; Haekal & Shalahuddin, 2020). Artinya, ada cukup alasan untuk mencurigai atau bahkan menuduh kebijakan MBKM adalah lanjutan dari proses neoliberalisasi yang sedang berlangsung di sektor pendidikan khususnya pendidikan tinggi.

Dalam rangka membangun posisi dan argumen yang solid, tulisan ini akan terbagi dalam beberapa bagian. Bagian pertama dalam tulisan ini akan mengeksplorasi lebih dalam tentang kebijakan MBKM itu sendiri, apa latar belakang, tujuan, serta bentuk konkret dari kebijakan tersebut. Bagian kedua mencoba membongkar logika neoliberal dari kebijakan MBKM. Bagian ketiga membahas hubungan principal-agent antar aktor yang terlibat dalam pengimplementasikan kebijakan MBKM. Pada bagian keempat dan kelima akan secara berurutan membahas implikasi yang ditimbulkan dan siapa pihak yang paling diuntungkan dalam kebijakan MBKM. Terakhir, tulisan ini akan ditutup dengan merefleksikan kembali situasi ekonomi-politik pendidikan di Indonesia dan mempertanyakan kembali apa makna pendidikan yang seharusnya dikejar.

Tulisan ini banyak menggunakan pendekatan ekonomi-politik yaitu berkaitan dengan interaksi proses politik dan ekonomi dalam masyarakat: distribusi kekuasaan dan kekayaan antara kelompok dan individu yang berbeda, serta proses yang berlangsung di dalamnya (Collinson, 2003 dalam Rao, 2013). Pendekatan ini dinilai cocok digunakan sebagai pisau analisis dalam membedah kebijakan MBKM karena sebuah kebijakan tidak lahir dalam ruang hampa. Selalu ada tarik menarik aktor maupun kelompok kepentingan pada sebuah kebijakan termasuk kebijakan MBKM. Seperti namanya, pendekatan ekonomi-politik berkaitan dengan bagaimana kekuatan politik mempengaruhi ekonomi dan hasil ekonomi; bagaimana kegiatan ekonomi menghasilkan sumber daya penunjang kegiatan politik, dan pada akhirnya kegiatan politik tersebut kembali digunakan untuk meraih keuntungan ekonomi. Oleh sebab itu, pertanyaan kritis yang diajukan dalam tulisan ini adalah siapa pihak yang paling diuntungkan dan dirugikan dalam kebijakan MBKM. Selanjutnya beberapa bagian dalam tulisan ini juga bersifat refleksi pengalaman pribadi dimana penulis bersinggungan langsung dengan kebijakan MBKM atau dengan kata lain adalah mahasiswa yang merupakan agent pada implementasi kebijakan ini[1].

Yang Ditawarkan dari Kebijakan MBKM

Kebijakan MBKM membawa gagasan utama berupa kebebasan otonomi, kemandirian, akselerasi birokrasi, dan inovasi perguruan tinggi. Latar belakang yang mendasari kebijakan ini tidak lain adalah untuk menyiapkan mahasiswa menghadapi perubahan sosial, budaya, dunia kerja dan kemajuan teknologi yang pesat, dengan menghadirkan link and match tidak saja dengan dunia industri dan dunia kerja tetapi juga dengan masa depan yang berubah dengan cepat[2]. Memang, ada persoalan yang terjadi yaitu peningkatan pengangguran lulusan perguruan tinggi dalam beberapa tahun terakhir. Hal inilah yang diduga terjadi karena kurang sesuainya kapasitas lulusan perguruan tinggi dengan kebutuhan dunia kerja. Kemudian dari gagasan utama dan latar belakang tersebut, tujuan yang hendak dicapai dalam kebijakan MBKM adalah meningkatkan kompetensi lulusan, baik soft skills maupun hard skills, agar lebih siap dan relevan dengan kebutuhan zaman, menyiapkan lulusan sebagai pemimpin masa depan bangsa yang unggul dan berkepribadian[2]. Tujuan tersebut tercermin dalam 4 program utama kebijakan MBKM yaitu: 1) kemudahan membuka program studi baru, 2) sistem akreditasi perguruan tinggi yang otomatis, 3) kemudahan perguruan tinggi menjadi PTN-BH, dan 4) Hak belajar tiga semester di luar program studi. Selanjutnya, dalam konteks khusus pembelajaran mahasiswa, kebijakan MBKM memiliki 8 bentuk kegiatan pembelajaran yaitu: pertukaran pelajar, magang/praktik kerja, asistensi mengajar di satuan pendidikan, penelitian/riset, proyek kemanusiaan, kegiatan wirausaha, studi independen, dan kuliah kerja nyata tematik/membangun desa[3].

Dalam hal pendanaan perguruan tinggi, kebijakan MBKM memiliki tiga terobosan pendanaan yang diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia. Kebijakan pertama adalah dengan memberikan insentif kepada PTN yang didasarkan pada capaian Indikator Kinerja Utama (IKU)[4]. Kebijakan ini adalah model baru dalam pendanaan perguruan tinggi karena dulunya PTN hanya mendapatkan dana alokasi dasar dan dana afirmasi khusus untuk perguruan tinggi di daerah tertinggal. Pemberian insentif ini diharapkan dapat memacu semangat PTN agar terus meningkatkan kualitasnya sesuai dengan IKU. Kebijakan kedua adalah dana penyeimbang mitra (matching found). Matching fund ini berarti dukungan dana dari mitra yang telah dipilih oleh perguruan tinggi, akan disamakan dengan jumlah yang diberikan Kemendikbud dengan perbandingan 1:1 atau sampai dengan 1:3 untuk pendanaan yang terkait isu sosial dan prioritas nasional[5]. Untuk memfasilitasi kebijakan ini, Kemdikbud telah menyiapkan platform kadareika.id sebagai meeting point yang memberikan akses bagi perguruan tinggi dan DUDI (Dunia Usaha dan Dunia Industri). Disini perguruan tinggi dan DUDI bebas mencari dan memilih dengan siapa mereka akan bermitra. DUDI dapat mengajukan proposal permasalahan yang harus dipecahkan, dan perguruan tinggi dapat mengajukan solusi yang akan dikaji[6]. Kebijakan ketiga adalah program kompetisi Kampus Merdeka atau competitive fund. Program ini memfasilitasi seluruh civitas akademika untuk berkompetisi dalam memberikan terobosan atau solusi atas berbagai permasalahan yang ada. Mereka yang memenangkan competitive fund ini dipilih berdasarkan dampak program dalam diferensiasi misi Perguruan Tinggi dan dalam meningkatkan capaian delapan IKU. Ketiga kebijakan pendanaan diatas diharapkan dapat menjadi penopang perguruan tinggi dalam merealisasikan kebijakan utama MBKM serta memacu persaingan yang diasumsikan dapat meningkatkan mutu perguruan tinggi tersebut.

Membongkar Logika Neoliberalisme dibalik Kebijakan MBKM

Jika sebelumnya telah dibahas terkait gagasan utama, latar belakang, tujuan, dan bentuk konkret dari kebijakan MBKM, pada bagian ini akan mencoba membongkar asumsi dan logika yang mendasari kebijakan MBKM tersebut. Kebijakan MBKM didasarkan atas asumsi bahwa pendidikan utamanya adalah urusan tiap individu sehingga individu perlu diberi kebebasan untuk memilih apa yang terbaik untuknya. Kebebasan memilih ini pun berangkat dari sebuah asumsi bahwa individu digambarkan sebagai homo economicus dengan rasionalitasnya dapat memilih mana saja yang memberikan keuntungan (materiil) bagi dirinya. Alhasil, dalam asumsi ini pendidikan tidak lebih dari investasi tiap individu untuk meraih keuntungan di masa depan, atau yang lebih sering di definisikan sebagai pekerjaan. Asumsi ini dapat ditemukan dari latar belakang kebijakan MBKM yang mendefinisikan pendidikan haruslah dapat memproduksi individu-individu yang siap kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka dari itu implikasinya adalah dengan mengusahakan adanya link and match antara pendidikan dengan lapangan pekerjaan. Untuk menyatukan asumsi-asumsi tersebut diperlukan adanya logika yang menghubungkannya. Dalam hal ini yang digunakan adalah logika pasar yang mengandaikan bahwa persaingan bebas yang kompetitif akan memacu setiap individu yang diberi kebebasan untuk bertindak rasional dalam segala pilihannya. Oleh sebab itu, mahasiswa dalam kebijakan MKBM layaknya konsumen yang berbelanja dengan bebas dapat memilih barang apa saja yang sekiranya baik untuknya. Tidak perlu khawatir, para konsumen (mahasiswa) akan selalu benar karena ketatnya persaingan akan menuntut mereka memilih barang (pendidikan) yang paling relevan dengan kebutuhan pasar kerja. Alhasil link and match antara pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja dapat tercapai. Dan akhirnya setiap individu akan mendapatkan ‘keuntungan’ darinya.

Asumsi dan logika yang dibangun dalam kebijakan MBKM adalah khas dari gagasan neoliberal. Dalam konteks pendidikan, neoliberal selalu mempromosikan ‘keberhasilan individu dalam ekonomi’ sebagai karakter sukses yang memiliki nilai moral dalam masyarakat (Gibb, 2015 dalam Evans, 2020). Dalam tatanan hegemoni neoliberal di dunia pendidikan, fokus pasar yang menjadikan mahasiswa sebagai konsumen dan pengajar serta universtas sebagai penyedia layanan (Cannella & Ljunberg, 2017). Hal ini memberi penekanan dalam memastikan mahasiswa mendapatkan apa yang mereka bayarkan (Gyimah, 2018). Lagi-lagi, penekanan tersebut terjadi karena individu dikonstruksi sebagai modal dalam diri manusia yang berwirausaha (Read, 2009). Bahkan yang lebih eksplisit, tujuan dari kebijakan MBKM sama persis dengan persepsi pendidikan dalam perspektif neoliberal yang dipopulerkan oleh World Bank yaitu kekhawatiran akan ketidaksesuaian antara penawaran perguruan dan kebutuhan mahasiswa dan pasar tenaga kerja, serta hubungan antara otonomi dan kebebasan akademik (Rosser, 2015). Dengan begitu, sudah sangat jelas bahwa secara asumsi, logika, dan substansi, kebijakan MBKM adalah khas dari hegemoni neoliberal dalam konteks pendidikan tinggi.

Dalam bentuknya yang lain, ciri khas neoliberalisme dalam kebijakan MBKM juga dapat dilihat dari segi prinsip tata kelola institusi pendidikan tinggi. Rosser (2015) dalam penelitiannya yang mengkaji hubungan neoliberalisme dengan pendidikan tinggi di Indonesia menjelaskan tiga prinsip yang menurut hemat penulis ketiganya terkandung dalam kebijakan MBKM. Tiga prinsip tersebut antara lain: (i) meningkatkan otonomi manajerial, keuangan, dan akademik institusi pendidikan tinggi; (ii) mempromosikan persaingan yang lebih besar antara perguruan tinggi (misalnya, dorongan yang lebih besar untuk berkolaborasi dengan sektor swasta dan penciptaan daya saing dengan mekanisme untuk mengalokasikan dana penelitian dan pengajaran publik); (iii) meningkatkan akuntabilitas untuk penggunaan dana yang berasal dari berbagai sumber pendanaan. Akibat dari prinsip-prinsip tersebut menjadikan pendidikan tinggi sangat menjunjung tinggi nilai untuk uang, manajerialisme, konsumerisme, akuntabilitas, dan kinerja yang dikontrol secara ketat melalui audit setiap saat (Cannella & Ljunberg, 2017). Prinsip dan nilai tersebut terlihat jelas dalam kebijakan MBKM yang berfokus pada otonomi perguruan tinggi, didorongnya kampus untuk mencari pendanaan dengan bermitra dengan DUDI ataupun bersaing dalam meninggikan capaian indikator kinerja. Implikasi logis dari hal ini adalah peluang pergeseran fungsi dan peran pendidikan tinggi menjadi komoditas yang akan dijual di pasar terbuka, yang mengarah pada penekanan pada persaingan, pengukuran, penilaian, dan fokus yang pantang menyerah pada uang. Mengubah fungsi dasar pengajaran, penelitian, dan layanan mereka menjadi tidak lebih dari operasi yang menghasilkan pendapatan. Sebagai contoh, kebijakan MBKM yang memaksa kemitraan kampus-korporasi menjadikannya tidak lebih dari upaya “proyekan” dimana perguruan tinggi dibayar sebagai jasa konsultan yang menawarkan solusi bahkan melegitimasi tindakan korporasi terlepas dari apakah korporasi tersebut merugikan masyarakat luas atau tidak.

[1]Metode refleksi atau bisa dibilang autoetnografi juga dilakukan oleh Evans (2020) yang dalam penelitiannya dia merefleksikan pengalam pribadinya sebagai pengajar-peneliti-serikat buruh di Inggris yang merasakan dampak langsung dari proses neoliberalisasi perguruan tinggi di Inggris. (Lihat Matthew Evans (2020): Navigating the neoliberal university: reflecting on teaching practice as a teacher-researcher-trade unionist, British Journal of Sociology of Education, DOI: 10.1080/01425692.2020.1748572)

[2] Lihat Buku Panduan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka. (2020). Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. http://dikti.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2020/04/Buku-Panduan-Merdeka-Belajar-Kampus-Merdeka-2020

[2] Ibid..

[3] Ibid..

[4] Lihat siaran pers Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor : 333/sipres/A6/XI/2020. Laman resmi LLDIKTI. https://lldikti9.kemdikbud.go.id/berita/detail/transformasi-dana-pemerintah-untuk-pendidikan-tinggi--dalam-merdeka-belajar--kampus-merdeka

[5] Ibid..

[6] Ibid..

--

--

Maulana Aji Negara
Maulana Aji Negara

Written by Maulana Aji Negara

Mahasiswa Manajemen dan Kebijakan Publik FISIPOL UGM

No responses yet