Membuka Kotak Pandora Sistem Pendidikan Kita
ditengah Pandemi Corona
Pandemi virus corona seolah membungkam glorifikasi revolusi pendidikan 4.0 yang kerap disuarakan pemerintah karena tertampar fakta bahwa kualitas sarana pendidikan di Indonesia masih belum merata. Hal itu berkaitan dengan kebijakan belajar daring di seluruh jenjang pendidikan yang diambil pemerintah untuk mencegah penularan virus corona. Kebijakan tersebut sulit diimplementasikan terutama di daerah pelosok yang minim akan sarana dan penguasaan IPTEK oleh masyarakatnya. Keberhasilan kebijakan tersebut juga sangat ditentukan oleh kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Para peserta didik yang berasal dari kelas atas mungkin dapat dengan nyaman menjalani belajar daring karena situasi yang kondusif. Berbeda dengan mereka yang berasal dari kelas menengah kebawah yang pada masa pandemi ini merasakan dampak langsung lesunya aktivitas ekonomi sehingga tidak dapat fokus menjalani kegiatan belajar daring. Tidak hanya sampai disitu, kebijakan belajar daring juga berbenturan dengan kultur pendidikan kita saat ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kebanyakan dari peserta didik belajar lebih banyak karena ada semacam ‘paksaan’ berupa ujian, tugas, atau faktor guru daripada karena kesadaran masing-masing pribadi. Hal tersebut yang sepertinya menjadi alasan berbagai institusi pendidikan untuk memberi banyak tugas atau ujian guna memastikan peserta didiknya tetap belajar dirumah. Ditambah tuntutan administratif dan menjaga nama baik institusi memaksa mereka untuk memacu peserta didiknya agar mencapai target hasil yang ditentukan sebelumnya. Berbagai tuntutan yang tidak diimbangi dengan kemampuan melakukan sistem belajar daring dengan efektif membuat institusi pendidikan mengambil jalan pintas berupa pemberian banyak tugas sebagai bahan pengambilan nilai peserta didiknya.
Banyaknya tugas yang dikerjakan siswa dalam kebijakan belajar daring membawa banyak persoalan. Dilansir dari laman Detik (13/4), bulan April kemarin KPAI mendapatkan laporan sebanyak 213 pengaduan siswa tentang masalah belajar di rumah dengan mayoritas pengaduan berupa keluhan tugas yang memberatkan. Peserta didik yang terbebani tugas yang banyak dengan tenggat waktu yang singkat berdampak pada lelahnya fisik peserta didik dan tekanan terhadap mental mereka. Padahal pada masa pandemi saat ini menjaga kesehatan fisik dan mental adalah sesuatu yang krusial. Meskipun ada beberapa yang menyuarakan keluhannya ke KPAI, tetapi mayoritas peserta didik lebih memilih untuk diam menerima keadaan. Kondisi tersebut kemungkinan besar disebabkan karena mengakarnya apa yang disebut Paulo Freire dengan “budaya diam” atau cultur of silence pada peserta didik sehingga mereka hanya tunduk patuh dan menerima transfer pengetahuan dari pendidik begitu saja (Tosaini, 2005). Budaya ini sangat dipengaruhi oleh kebijakan pendidikan pada masa orde baru yang rupanya masih melekat kuat pada sistem pendidikan kita hingga saat ini.
Kegiatan belajar daring yang penuh hambatan, minimnya kesempatan untuk menyuarakan keluhan, tugas yang banyak dikerjakan dengan mengutamakan kecepatan, menyebabkan peserta didik tidak dapat menikmati proses sebuah pendidikan. Banyaknya tugas yang diberikan dalam rangka memenuhi standar nilai juga mengindikasikan bahwa sistem pendidikan kita sangat berfokus pada hasil atau output berupa nilai sebagai indikator suksesnya pembelajaran. Orientasi pada hasil atau output yang berupa satuan angka lebih dipentingkan daripada proses pembelajaran. Pendidikan layaknya pabrik produksi massal dimana peserta didik sebagai buruh dengan nilai sebagai upah borongannya. Pendidikan semacam ini tidak mendalamkan ilmu pengetahuan sebagai kesadaran, namun hanya sekedar hafalan yang mudah dilupakan dan ditinggalkan.
Bagaimanapun kondisi sistem pendidikan negara kita, semua itu dipengaruhi oleh manajemen sistem pendidikannya. Kecenderungan sistem pendidikan kita yang mementingkan hasil atau output disebabkan karena manajemen pendidikan saat ini banyak mengadopsi nilai-nilai paradigma NPM (New Public Management). NPM adalah paradigma manajemen publik yang memiliki fokus pada hasil atau output (O’Flynn, 2007). Tidak hanya itu, NPM juga menginternalisasikan nilai-nilai pasar dalam ranah kebijakan publik karena mengganggap masyarakat sebagai konsumen (Alamsyah, 2016). Hal ini dapat kita amati di manajemen pendidikan kita dimana sekarang PTN telah banyak diberi hak otonomi yang mirip dengan manajemen dalam PTS. Akibatnya biaya kuliah di beberapa PTN semakin mahal karena memposisikan masyarakat sebagai konsumen, sehingga biaya menentukan kualitas pelayanan. Nilai-nilai pasar juga dapat kita temukan dalam kebijakan kampus merdeka yang dikampanyekan baru-baru ini. Dalam bagian awal buku panduan “Merdeka Belajar-Kampus Merdeka” yang dikeluarkan oleh Kemendikbud menjelaskan bahwa tujuan dari kebijakan tersebut adalah untuk mendorong mahasiswa untuk menguasai berbagai keilmuan yang berguna untuk memasuki dunia kerja. Definisi ini menunjukkan kebijakan tersebut menginginkan berlakunya hukum pasar dalam sistem dan institusi pendidikan kita. Insitusi pendidikan eksis hanya dalam rangka memenuhi permintaan pasar akan kebutuhan tenaga kerja. Institusi pendidikan sekarang lebih mirip dengan pasar daripada ruang dialektika sekaligus penyedia public goods. Keadaan tersebut berimplikasi pada pandengan bahwa seseorang menempuh pendidikan hanya untuk dapat bekerja. Pendidikan direduksi maknanya hanya menjadi cara untuk memenuhi ekspektasi ekonomi saja yang berujung pada matinya nalar kritis dan semakin menjamurnya sikap egois, oportunis dan pragmatis.
Kecenderungan penggunaan paradigma NPM dalam manajemen pendidikan negara kita memang mampu menghasilkan output berupa banyaknya peserta didik yang lulus dengan nilai tinggi atau semakin banyaknya tenaga kerja yang dibutuhkan pasar. Namun itu semua tidak diikuti dengan perubahan kehidupan masyarakat. Sampai sekarang masih banyak kita temukan berbagai kenakalan remaja, budaya literasi yang sangat rendah, masih maraknya hoax & konten sampah, dan berbagai masalah lain yang berkaitan dengan masih maraknya pola pikir irasionalitas di masyarakat. Fakta tersebut membuktikan bahwa kualitas manajemen pelayanan publik tidak dapat dinilai hanya dari outputnya, melainkan dari impactnya ke masyarakat (Bovaird & Löffler, 2003). Pendidikan tidak boleh didefinisikan sebagai hasil yang kemudian direduksi maknanya hanya sebatas memenuhi kebutuhan industri yang semakin berkembang. Namun, pendidikan merupakan proses yang membuka kesadaran kritis individu untuk merefleksikan dirinya, peran, dan tanggung jawabnya terhadap masyarakat sesuai dengan konteks tantangan di zamannya. Hal inilah yang dulu diperjuangkan oleh Ki Hadjar Dewantara. Beliau tidak menciptakan sekolah agar para bangsawan dapat menjalin hubungan baik dengan penjajah, tidak juga mendidik para rakyat jelata untuk menjadi pekerja handal bagi proyek kolonial. Ki Hadjar Dewantara justru menciptakan sekolah yang menumbuhkan benih perjuangan radikal menantang keadaan yang tidak memanusiakan.
Tulisan ini tidak bertujuan untuk memperkeruh keadaan pendidikan kita pada masa sulit pandemi corona saat ini. Berbagai kesulitan yang kita alami saat ini tidak semata karena keaadaan memang sedang sulit. Namun barangkali, pada kondisi normal itulah sistem kita berjalan ke arah yang salah dan baru terasa dampaknya pada masa sulit seperti ini. Oleh sebab itu, tulisan ini bertujuan untuk memunculkan kembali diskursus dan membuka kotak pandora sistem pendidikan kita kemudian mengeluarkan berbagai keburukan di dalamnya, sehingga yang tersisa hanyalah harapan. Harapan seperti yang dicita-citakan Bapak Pendidikan kita yaitu sebuah pendidikan yang memanusiakan manusia, pendidikan yang mampu menciptakan generasi solutif yang mengentaskan permasalahan, bukan malah mencetak generasi yang melanggengkan permasalahan karena hanya memenuhi kebutuhan pasar. Harapan itulah yang setidaknya memberi kita asa, bahwa kita masih bisa memikirkan dan memilih berbagai alternatif lain yang lebih baik untuk masa depan pendidikan di negeri ini kelak.
REFERENSI
Jurnal atau Publikasi
Alamsyah, A. (2016). Perkembangan Paradigma Administrasi Publik (New Public Administration, New Public Management dan New Public Service). JPP (Jurnal Politik Profetik), 4(2).
Bovaird, T., & Löffler, E. (2003). Evaluating the quality of public governance: indicators, models and methodologies. International Review of Administrative Sciences, 69(3), 313–328.
Kemendikbud. (2020). Buku Panduan Merdeka Belajar: Kampus Merdeka. Publikasi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. http://dikti.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2020/05/Buku-Panduan-Merdeka-Belajar-Kampus-Merdeka-2020-1.pdf diakses pada 9 Mei 2020
O’Flynn, J. (2007). From new public management to public value: Paradigmatic change and managerial implications. Australian journal of public administration, 66(3), 353–366.
Tosaini, R. (2005). Konsep Pedagogi Pengharapan Paulo Freire Sebagai Alternatif Pemecahan Masalah Pendidikan Anak Jalanan Di Indonesia (Telaah Filsafat Pendidikan). (Doctoral dissertation, Universitas Indonesia).
Media Digital
Ernes Y. (2020). 213 Siswa Ngadu ke KPAI Selama Belajar di Rumah, Ada soal ‘Tugas Maha Berat’. Detik, 13 April 2020. https://news.detik.com/berita/d-4975072/213-siswa- ngadu-ke-kpai-selama-belajar-di-rumah-ada-soal-tugas-maha-berat diakses pada 9 Mei 2020