Beban Pemuda Kelas Menengah Dalam Menggapai Indonesian Dream

Maulana Aji Negara
24 min readDec 17, 2021

--

Shutterstock.com

Pendahuluan

Ketika mimpimu, yang begitu indah. Tak pernah terwujud, Ya sudahlah.. Saat kau berlari mengejar anganmu. Dan tak pernah sampai, ya sudahlah…

Bondan Prakoso & Fade 2Black — Ya Sudahlah

Menempuh pendidikan di perguruan tinggi terbaik, lulus dengan nilai memuaskan beserta CV segudang prestasi dan pengalaman, kemudian bekerja di korporasi atau start-up bergaji dua digit dengan jam kerja dan tempat kerja yang fleksibel, memiliki kemapanan finansial sehingga dapat berbakti kepada orang tua, dan terakhir dapat menikah serta memiliki sebuah rumah idaman barangkali telah menjadi “Indonesian Dream” bagi kebanyakan pemuda khususnya dari kelas menengah di Indonesia. Sayangnya, kenyataan memang tidak seindah yang diimpikan, menjadi kelas menengah yang berpendidikan bukanlah jaminan bagi pemuda di Indonesia untuk mendapatkan pekerjaan layak apalagi menaiki tangga mobilitas sosial. Tulisan ini akan mendiskusikan perihal menjadi pemuda kelas menengah dalam proses transisi dari dunia pendidikan ke dunia kerja dengan membandingkan kondisi antara masa orde baru dan masa pasca-reformasi pada pemerintahan Jokowi. Tulisan ini hendak memaparkan bahwa ada perbedaan antara kedua rezim pemerintahan tersebut dari sisi paradigmatik yang berimplikasi pada corak kebijakan yang ditujukan dalam transisi pemuda khususnya kelas menengah dari dunia pendidikan ke dunia kerja. Bagian terakhir tulisan ini akan ditutup dengan diskusi tentang agenda riset masa depan yang penting untuk dilakukan dalam rangka memahami secara lebih dalam hubungan antara pemuda dengan kebijakan publik khususnya yang berkaitan dengan proses transisi dunia pendidikan ke dunia kerja. Ini adalah upaya untuk memperluas lanskap keilmuan studi kepemudaan di Indonesia melalui perpaduan dengan studi kebijakan publik.

Menjadi Kelas Menengah Sekaligus Pemuda

Analisis kelas adalah barang langka di Indonesia sejak kokohnya hegemoni rezim orde baru yang diawali dengan pembantaian secara sistematis terhadap kaum pemikir kiri atau lebih tepatnya PKI pada tahun 1965–1970 (Rossa et al, dalam Sutopo, 2014). Pembantaian tersebut tidak hanya berhasil menghilangkan banyak nyawa orang-orang yang berafiliasi dengan gerakan kiri namun juga turut membantai hingga tataran tradisi berpikir kiri di Indonesia, sehingga tidak heran jika analisis kelas telah terpinggirkan atau bahkan absen dalam perkembangan ilmu sosial di Indonesia. Padahal hilangnya analisis kelas sama halnya dengan hilangnya salah satu ruang intelektual utama dalam pengkajian kritis (Jones, 2009). Hal itu terjadi karena rezim orde baru secara konstitusi telah melarang adanya diskursus mengenai pemikiran kiri dan menggantinya dengan semangat pertumbuhan ekonomi yang dikombinasikan dengan kekuasaan militer dan jargon stabilitas nasional (Samuel & Sutopo, 2013). Dalam kondisi mengekang seperti itu, pembahasan mengenai eksistensi kelas sosial di Indonesia malah banyak diambil oleh para indonesianis yaitu intelektual yang berasal dari luar negeri dan memiliki ketertarikan dalam mengkaji situasi sosial di Indonesia. Karya Robison (2009) yang berjudul The Rise of Capital sering dirujuk sebagai literature dasar dalam usaha mengembangkan analisis kelas di Indonesia dengan menjadikan rezim orde baru sebagai pusat perhatiannya dalam menjelaskan revolusi kapitalis di Indonesia yang melahirkan kelas sosial termasuk kelas menengah. Karya Robison menjadi titik tolak dalam merumuskan kelas-kelas sosial di Indonesia dengan melihatnya dari proses akumulasi kapital atau pengumpulan kekayaan, terutama dalam bentuk uang. Proses akumulasi kekayaan ini sangat berkaitan dengan kepemilikan alat produksi yang membawa kita pada pemahaman akan struktur sosial yang terbagi menjadi mereka yang memiliki akses alat produksi (borjuis) dengan yang tidak memiliki akses alat produksi (proletar) (Mudhoffir, 2021). Pada kenyataannya, kelas sosial tidak hanya terdiri dari kelas borjuis dan proletar tetapi ada juga kelas menengah, suatu kelas yang berada diantara borjuis-proletar sehingga secara karakteristik gaya hidup hingga ideologisnya terombang-ambing diantara kedua kelas tersebut (Pontoh, 2021).

Memahami kelas hanya dengan bertumpu pada proses akumulasi kapital yang cenderung diasosiasikan dengan barang berharga tertentu sebenarnya kurang tepat secara konseptual dan berakibat pada pemberhalaan proses kategorisasi semata. Padahal, jantung analisis kelas yang pertama dibawakan oleh Marx adalah berpijak pada pemahaman kapital sebagai hubungan sosial (Farid, 2006). Artinya pemahaman akan kelas tidak dapat hanya dengan melihat bagaimana suatu kelompok melakukan akumulasi kapital dalam bentuk aset tetapi juga harus melihat bagaimana hubungan antagonistik dan inheren diantara kelompok-kelompok tersebut yang menyebabkan kelompok tertentu berkuasa dan yang lainnya terpaksa harus melakukan kerja yang menciptakan nilai. Akan tetapi, pemahaman akan konsepsi kelas yang paling mendasar seperti ini akan kontraproduktif jika dijejalkan secara instan kepada publik Indonesia yang bahkan masih sangat asing akan konsepsi kelas sosial. Doktrin rezim Orde Baru yang menyatakan bahwa masyarakat Indonesia tidak memiliki struktur kelas sosial dan perkembangan konsep civil society yang mengaburkan batas-batas kelas (Farid, 2006) telah menyebabkan sulitnya akal sehat masyarakat untuk menerima konsepsi kelas. Oleh sebab itu, untuk keperluan praktis dan pragmatis dalam tulisan ini akan menggunakan kriteria berbasis pendapatan untuk mengkategorisasikan kelas menengah yang dibahas dalam tulisan ini. Memang, pengkategorisasian semacam ini sebenarnya sangat reduksionis karena bermasalah secara teoritis, akan tetapi dalam upaya pengarusutamaan pemahaman akan kelas di masyarakat, upaya kategorisasi kelas secara sederhana tetap bermanfaat. Setidaknya, dengan pengkategorisasian sederhana semacam ini dapat memantik imajinasi dan kesadaran masyarakat Indonesia bahwa dalam bentuk paling sederhana (berdasarkan pendapatan) kita sudah dapat menyaksikan bahwa kelas sosial nyata adanya di dalam struktur sosial masyarakat Indonesia.

Dengan pertimbangan yang telah disampaikan pada bagian sebelumnya, maka yang dimaksud dengan pemuda kelas menengah pada tulisan ini mengikuti Naafs (2017) yang menggunakan kriteria dari ADB (2010) adalah mereka yang memiliki pengeluaran harian antara US$2 hingga US$20. Mengacu Robison (1996) pemuda kelas menengah mencakup mereka yang berasal dari keluarga berlatar belakang profesi seperti PNS berpangkat rendah, wirausaha (pedagang kecil, penjaga toko, pengusaha kecil dan menengah), buruh industri, pekerja jasa, teknisi, dan petani. Diperkirakan jumlah kelas menengah secara keseluruhan di Indonesia saat ini mencapai 45% dari total populasi. Meskipun angka tersebut adalah jumlah keseluruhan, namun kita dapat memperkirakan dengan mempertimbangkan struktur demografi usia penduduk Indonesia jumlah pemuda kelas menengah di Indonesia tentu sangatlah banyak. Secara politik, kelas menengah seringkali dibayangkan sebagai kelompok yang memberikan legitimasi bagi reformasi negara dan pasar dibawah rubrik demokrasi, good governance, dan upaya penghapusan korupsi (Heiman et al, 2012). Untuk pemuda kelas menengah, khususnya yang terdidik di perguruan tinggi (mahasiswa) juga digambarkan sebagai aktor, dalam kemajuan bangsa dengan sebutan agent of change, iron stock, guardian of value, moral force, social control, dan beragam sebutan heroik lainnya. Sedangkan secara ekonomi, kelas menengah diagungkan sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi karena seperti yang dicatat oleh World Bank (2020), konsumsi kelas menengah mengalami terus mengalami peningkatan rata-rata sebesar 12% tiap tahunnya atau mewakili nyaris setengah dari seluruh konsumsi rumah tangga di Indonesia. Sedangkan untuk pemuda kelas menengah, dirinya dihargai karena potensinya sebagai tenaga kerja masa depan (Gerke, 2000) sekaligus konsumen berharga bagi pasar. Singkatnya pemuda kelas menengah sangat dihargai secara ekonomi karena diharapkan dapat meningkatkan status sosial ekonomi untuk keluarganya dan menjadi daya ungkit pertumbuhan ekonomi negara.

Tanpa bermaksud meromantisasi pemuda kelas menengah, dirinya dipilih sebagai subjek utama dalam pembahasan tulisan ini karena mayoritas darinya memiliki kemampuan secara finansial untuk menamatkan pendidikan sekolah menengah bahkan melanjutkannya ke pendidikan tinggi, sesuatu yang akan banyak dibahas pada tulisan ini. Selain itu, pemuda kelas menengah juga digambarkan memiliki aspirasi dan cita-cita yang tinggi dalam memandang masa depan yang lebih baik (Naafs, 2018). Dalam studi kepemudaan di Indonesia, pemuda kelas menengah telah banyak mendapatkan porsi pembahasan (Nilan, 2008; Minza, 2011; Sutopo, 2014; Naafs, 2018). Hal itu tidak terlepas dari fakta bahwa baik pemerintah maupun pasar memiliki kepentingan yang besar dalam mendefinisikan sekaligus membentuk pemuda kelas menengah di Indonesia. Mengikuti gagasan “rezim transisi” (Wyn, dalam Naafs & Skelton, 2018) bagian selanjutnya akan mengeksplorasi konteks kelembagaan (sistem pendidikan, pasar tenaga kerja, hukum, dan kesejahteraan) dengan membandingkan bagaimana perubahan sosio, ekonomi, dan politik pada masa pemerintahan orde baru dan Jokowi memiliki perbedaan yang cukup signfikan dalam membentuk pemuda kelas menengah khususnya dalam hal transisi dari dunia pendidikan ke dunia kerja.

Patologi Pemuda pada Masa Orde Baru

Seperti di kebanyakan tempat, pendidikan diharapkan dapat memproduksi pengetahuan, pemantapan nilai-nilai kewarganegaraan, moral, agama (Parker et al, 2013) dan penciptaan tenaga kerja yang berpengetahuan, berketerampilan, dan kompetitif secara global (Brown et al, 2011). Dengan begitu, pendidikan juga dibayangkan sebagai jalur untuk melakukan mobilitas sosial bagi kaum muda yang bercita-cita menjadi kelas menengah maupun menjadi kelas atas. Tidak heran jika setiap rezim transisi memiliki perhatian dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas di bidang pendidikan. Sejak tahun 1970-an pemerintahan Orde Baru telah melakukan perluasan pendidikan melalui kebijakan Wajib Belajar (Wajar) Sembilan tahun hingga usia 15 tahun atau menyelesaikan pendidikan sekolah menengah (Naafs, 2018). Kebijakan tersebut telah berdampak pada meningkatnya tingkat melek huruf bagi kaum muda di Indonesia pada waktu itu. Kehadiran kebijakan tersebut menyebabkan kelas menengah yang sudah lebih terdidik berharap ijazah sekolah menengah yang mereka miliki sebagai tiket bagi mereka untuk mendapatkan pekerjaan popular pada masa itu yaitu PNS dan pegawai perusahaan (Naafs, 2018). Terbukanya akses pendidikan yang dibarengi dengan tingginya arus urbanisasi pada masa orde baru (Octifanny, 2020) juga membuat harapan bagi pemuda kelas menengah pada waktu itu untuk dapat keluar dari informalitas pedesaan. Pada masa ini, pendidikan tinggi juga mengalami ekspansi yang signifikan jika dibandingkan dengan masa awal kemerdekaan (Abdullah, dalam Heryanto, 2006). Pendidikan formal yang semakin terbuka lebar telah membuka cakrawala baru yang dicita-citakan oleh pemuda kelas menengah dalam menggapai pekerjaan layak, kehidupan sejahtera, dan gaya hidup modern. Meskipun, itu semua kebanyakan tetap hanya menjadi “mimpi di siang bolong” bagi pemuda kelas menengah, karena realitas tidak seperti yang diharapkan. Lapangan kerja tetap sulit, masalah pengangguran dan setengah menganggur serta realitas politik yang tidak dapat diselesaikan melalui pendidikan adalah kenyataan yang harus dihadapi (Naafs & Skelton, 2018). Akhirnya, sektor informal menjadi jalan terakhir bagi pemuda kelas menengah yang tidak mendapat jatah menaiki untuk tangga mobilitas sosial.

Membicarakan Orde Baru tidak bisa tidak untuk membahas ideologi dominan darinya yaitu developmentalisme (Heryanto, 2006) yang berkiblat pada modernitas melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan menjalankan pembangunan secara massif dan stabilitas politik sebagai prasyaratnya. Adanya kehendak untuk menciptakan stabilitas politik agar pembangunan yang digalakan pemerintah lancar, berimplikasi pada cara rezim orde baru dalam memandang pemuda. Perspektif patologi dalam melihat pemuda sangat kental pada masa pemerintahan rezim orde baru. Perspektif ini berbasis dari anggapan orang dewasa dalam melihat pemuda sebagai pemicu masalah sosial (Griffin, 2001). Sehingga tidak heran, ekspresi kebijakan yang muncul pada masa itu lebih banyak diarahkan pada upaya untuk “menjinakkan” pemuda karena secara ekonomi dirinya harus dijaga dari perilaku yang menghambat kesuksesan seperti hedonism, seks pra-nikah, dan kenakalan remaja sedangkan secara politik pemuda didepolitisasi secara besar-besaran agar tidak melakukan gerakan sosial (Naafs & White, 2012) yang mengganggu stabilitas politik nasional. Dalam situasi ini, pemuda kelas menengah (mahasiswa) juga merupakan cara orde baru membingkai pemuda agar berperan dalam pembangunan nasional melalui nuansa teknokratis alih-alih politik. Kebijakan pencanangan pelajaran moral, budi pekerti, dan kewarganegaraan disetiap jenjang pendidikan turut melengkapi upaya orde baru dalam mencetak pemuda yang nasionalis dan pancasilais sesuai dengan kepentingan rezim tersebut. Dengan kata lain, pemuda pada masa orde baru digambarkan sebagai sumber masalah sosial di satu sisi dan menjadi perkakas politik di sisi yang lain (Trijono & Djalong, 2011).

Secara ringkas, kebijakan ekspansi di bidang pendidikan pada masa orde baru telah membuka asa bagi pemuda khususnya kelas menengah untuk dapat menggunakan ijazah mereka sebagai tiket menuju pekerjaan dan kehidupan yang lebih layak. Meskipun pada kenyataannya mereka kebanyakan hanya menjadi surplus pekerja yang memang muncul seiring dengan proses perkembangan kapitalisme pada masa orde baru (Habibi, 2016), namun upaya yang dilakukan rezim orde baru lebih banyak dicurahkan pada usaha memastikan pemuda kelas menengah “tidak banyak tingkah” guna menjaga stabilitas politik. Perspektif patologis orde baru dalam memandang pemuda menyebabkan rezim tersebut lebih berfokus pada aspek moralitas, kultural, dan kewarganegaraan alih-alih berfokus pada upaya memastikan proses transisi dari dunia pendidikan ke dunia kerja bagi pemuda berjalan dengan lancar. Asumsinya, dengan membuka akses pendidikan yang lebih luas, memastikan pemuda tidak menjadi “masalah” yang mengganggu stabilitas politik nasional, dan kemudian dibarengi dengan pembangunan infrastruktur penunjang pertumbuhan ekonomi secara otomatis akan melancarkan proses transisi pemuda menuju kedewasaan dari dunia pendidikan ke dunia kerja.

Pemuda dalam Arena Neoliberal pada Masa Pemerintahan Jokowi

Alasan mengapa pada masa orde baru, pemerintahannya kurang memberikan perhatian dalam proses transisi pemuda dari pendidikan ke dunia kerja barangkali karena pada masa itu laju pembangunan masih berhasil dalam mendorong industrialisasi yang membuka lapangan kerja formal dan pada masa itu secara demografis jumlah pemuda masih belum sebanyak sekarang. Situasi tersebut sangat berbeda dengan yang dialami pemerintah pasca-reformasi khususnya pada pemerintahan Jokowi. Pada masa ini, pemerintah cenderung lebih memberikan perhatian dalam memastikan proses transisi pemuda khususnya kelas menengah dari pendidikan ke dunia kerja. Setidaknya ada dua kondisi yang menyebabkan pergeseran fokus tersebut yang akan dibahas pada bagian selanjutnya.

Pertama, krisis ekonomi 98’ meluluhlantahkan pembangunan ekonomi yang sebelumnya dibangun orde baru dan berdampak pada peningkatan angka pengangguran (Pitoyo, 2007). Krisis tersebut juga memicu gejala apa yang disebut dengan deindustrialisasi prematur (Andriyani & Irawan, 2018). Kondisi ini tidak baik karena menurunnya kinerja sektor industri pada suatu negara menyebabkan makin sempitnya kehadiran lapangan kerja formal. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik berikut:

Grafik 1. Net Job Creation Manufacturing sector

Sumber. Wihardja & Cunningham (2021)

Grafik 2. Share of Total Employment

Sumber. Wihardja & Cunningham (2021)

Pada Grafik 1 dapat kita lihat bahwa krisis ekonomi 98’ memicu periode “hollowing-out” yang terjadi mulai tahun 2000–2010 (Wihardja & Cunningham, 2021). Pada periode tersebut perusahaan manufaktur menengah dan besar melaporkan penciptaan lapangan kerja bersih yang negatif. Hal ini sama saja dengan satu dekade hilangnya pekerjaan kelas menengah. Sektor manufaktur tidak hanya berhenti menjadi sumber pertumbuhan lapangan pekerjaan yang berkualitas baik namun juga menyebabkan ketimpangan yang semakin meroket (Wihardja & Cunningham, 2021). Periode ini bertepatan dengan “resources boom” yaitu saat dimana Indonesia menikmati lonjakan permintaan dan harga komoditas akibat ekonomi China yang semakin mengeliat. Permasalahannya, ketergantungan terhadap ekspor komoditi seperti ini selain minim nilai tambah juga berpengaruh buruk terhadap serapan tenaga kerja karena permintaan tenaga kerja di sektor komoditas tidak setinggi sektor manufaktur. Minimnya lapangan kerja di sektor manufaktur pada akhirnya berdampak pada serapan tenaga kerja. Pada Grafik 2 terlihat bahwa secara tenaga kerja Indonesia telah berhasil melakukan shifting dari sektor agrikultur, namun alih-alih bergeser ke sektor manufaktur terlebih dahulu seperti mayoritas negara maju di dunia yang terjadi di Indonesia malah lebih condong pergeseran dari agrikultur langsung ke sektor jasa. Menyedihkannya, sektor jasa disini didominasi oleh sektor jasa dengan nilai tambah yang rendah. Akibatnya pemuda kelas menengah yang sudah terdidik yang awalnya sudah sulit menjadi semakin sulit dalam mendapatkan lapangan pekerjaan yang layak di sektor formal (seperti buruh industri) dan akhirnya masuk ke sektor informal (seperti pelayan restoran, kuli bangunan, penjaga toko dll) yang disitu keahlian atau pengetahuan yang dia dapatkan dari sekolah kurang bermanfaat untuk pekerjaannya. Meskipun periode “hollowing-out” yang berakibat pada minimnya penciptaan lapangan kerja formal di sektor manufaktur sehingga berakibat pada makin merebaknya informalitas sudah terjadi sejak masa pemerintahan Gus Dur hingga SBY, namun pada saat itu permasalahan ini belum terlalu dirasakan karena pertumbuhan ekonomi masih tinggi[1] lantaran Indonesia masih menikmati buah dari “reources boom”. Kesialan dirasakan oleh rezim pemerintahan Jokowi karena pada masa kekuasaannya sudah tidak lagi dapat bergantung pada “resources boom” sebagai daya ungkit pertumbuhan. Angka pertumbuhan pada masa awal pemerintahan Jokowi juga tidak segarang periode sebelumnya sehingga mencuatkan diskursus publik terkait beragam masalah struktural seperti minimnya lapangan kerja, pengangguran, dan informalitas tenaga kerja yang sebelumnya tertutupi oleh mitos pertumbuhan ekonomi. Situasi sosial-ekonomi inilah yang memaksa pemerintahan Jokowi untuk mengarahkan arah politik kebijakannya untuk turut berfokus pada masalah ketenagakerjaan atau dengan kata lain transisi pemuda dari dunia pendidikan ke dunia kerja.

Kedua, pada masa pemerintahan Jokowi, ada fenomena demografi yang belum pernah dirasakan oleh pemerintahan sebelumnya yaitu fenomena bonus demografi. Secara demografis, penduduk Indonesia pada saat ini didominasi (64%) oleh penduduk berusia produktif yaitu usia 15–60 tahun (Ariteja, 2017). Kondisi tersebut dipercaya mampu mendongkrak kesejahteraan lantaran banyaknya penduduk yang sedang aktif bekerja, berusaha, dan menggunakan segala daya dan kreativitasnya untuk mampu bersaing dalam kompetisi global. Hasil akhirnya, tentu adalah akumulasi aktivitas konsumsi maupun produksi yang berdampak pada tingginya pertumbuhan ekonomi yang mampu membawa Indonesia menuju status sebagai negara maju. Akan tetapi bonus demografi sejatinya adalah pedang bermata dua, “happy ending” hanya dapat terjadi jika mayoritas penduduk usia produktif (pemuda) dapat produktif, mendapatkan pekerjaan layak, dan memiliki sumber daya untuk melakukan konsumsi tersier. Jika hal tersebut tidak tercapai maka yang terjadi justru tragedi, situasi dimana kebanyakan pemuda menganggur, setengah menganggur, atau bekerja di sektor ekonomi tidak produktif yang pada akhirnya memicu beragai masalah sosial seperti kemiskinan, ketimpangan, kriminalitas, minimnya kesejahteraan, dan beragam malapetaka lainnya. Oleh sebab itu pemerintah sangat gencar dalam mempopulerkaan diskursus bonus demografi di kalangan masyarakat untuk meningkatkan awareness yang diharapkan membuat masyarakat lebih mau dan mampu menerima kebijakan penunjang bonus demografi yang dilakukan pemerintah. Pemuda kelas menengah tentu menjadi segmen yang krusial dalam hal ini mengingat besarnya jumlah pemuda kelas menengah.

Kondisi lapangan pekerjaan formal yang minim bertemu dengan fenomena bonus demografi menjadi perpaduan masalah yang sangat pelik untuk diselesaikan. Tidak heran jika pemerintahan Jokowi lebih memberikan perhatian terhadap isu transisi pemuda dari dunia pendidikan ke dunia kerja dibandingkan periode sebelumnya lantaran beratnya permasalahan yang dihadapinya. Lalu bagaimana cara pemerintahan Jokowi menghadapi permasalahan ini? Sebelum mendiskusikan hal tersebut, perlu untuk terlebih dahulu membaca situasi ekonomi-politik yang terjadi pada masa pemerintahan Jokowi atau lebih tepatnya era pasca-reformasi sebagai lanskap yang lebih luas.

Pasca runtuhnya orde baru, kekuasaan yang pada awalnya sangat sentralistik berubah seketika menjadi lebih tersebar. Akan tetapi kekuasaan yang semakin menyebar tersebut tidak lantas membawa kemajuan demokrasi secara substantif seperti yang dibayangkan oleh kaum liberal pluralis yang percaya akan adanya transisi demokrasi seiring dengan semakin menguatnya civil society dan kelas menengah. Elit-elit lama justru semakin berkonsolidasi dibalik ritual demokrasi dan tanpa disadari membajak agenda progresif dari reformasi itu sendiri. Sehingga, situasi ini lebih cocok digambarkan sebagai “reorganizing power” (Hadiz & Robison, 2004) dari pecahan elit ekonomi dan politik yang dulunya lahir dari rahim orde baru. Transformasi ini juga diiringi dengan penetrasi paham neoliberal yang disponsori oleh “The unholy trinity” (Peet dalam Sutopo, 2014) yang terdiri dari World Bank, IMF, dan WTO. Aktor-aktor ini berhasil melembagakan diskursus neoliberal hingga pada level mampu mempengaruhi arah kebijakan nasional (Irwan, 2006). Pemerintah Indonesia telah berhasil dipaksa melakukan penyesuaian struktural dengan tiga mantra neoliberal yaitu liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi yang membuat nilai-nilai pasar telah merambah masuk ke berbagai aspek kehidupan masyarakat. Pemerintah semakin “lepas tangan” atas berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat dan bersikeras bercaya pada mitos “invisible hand” pasar yang dapat secara otomatis menyelesaikannya. Akibatnya, pemuda khususnya kelas menengah dihadapkan dengan biaya pendidikan tinggi yang semakin mahal (Naafs, 2018), lapangan pekerjaan yang makin menipis, kerentanan kerja akibat fleksibilitas dan pekerjaan yang tidak teratur (Lukacs, 2015) adalah konsekuensi yang harus dihadapi. Pada masa pemerintahan Jokowi, kebijakan bercorak neoliberal yang masih berhubungan dengan transisi pemuda dapat dilihat dari makin banyaknya universitas negeri yang berstatus PTN-BH sehingga membuat biaya pendidikan semakin mahal dan UU №11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang memberikan karpet merah bagi investor dengan mengorbankan hak-hak pekerja.

Seperti dalam berbagai hal lain, neoliberalisme memang menjadi biang keladi dari segala permasalahan yang dihadapi pemuda, namun dirinya juga memberikan tawaran solusi untuk mengatasi masalah yang diciptakannya sendiri. Berbeda dengan pemerintahan orde baru yang melihat pemuda dalam perspektif patologis, pemerintahan Jokowi terlihat lebih mengikuti cara pandang World Bank yang sejak tidak lagi melihat pemuda dalam konotasi negatif melainkan positif atau yang dikenal dengan pembangunan pemuda positif. Cara pandang semacam ini banyak mengambil justifikasi dari riset-riset bertemakan ketahanan pemuda dan human capital (Sukarieh & Tannock, 2011).. Dalam pandangan ini, pemuda dipaksa untuk lebih fleksibel, adaptif, mampu berwirausaha, dan memiliki etos neoliberal yang mereduksi persoalan struktural seolah menjadi urusan masing-masing individu. Implikasi dari hal ini adalah jika ada seorang pemuda kelas menengah yang gagal mendapatkan pekerjaan layak atau meraih tangga mobilitas sosial maka itu semua terjadi karena kesalahan pemuda itu sendiri yang gagal menjadi individu yang adaptif dengan perubahan zaman, kurang kerja keras, atau tidak kreatif. Tidak peduli apakah semua itu terjadi karena masalah struktural yang terpampang di depan mata, absennya negara dalam menjamin kesejahteraan, dan minimnya lapangan kerja layak pemuda harus mampu menghadapinya secara mandiri.

Corak kebijakan bernuansa pembangunan pemuda positif pada masa pemerintahan Jokowi dapat kita lihat dari makin seringnya pemerintah mengganti sebutan pemuda menjadi millenial yang terkesan sangat bias kelas menengah[2]. Sebutan millenial yang dipopulerkan oleh pemerintahan Jokowi dalam berbagai kesempatan secara implisit memposisikan pemuda sebagai mereka yang adaptif, mampu memberikan solusi inovatif atas beragam permasalahan kontemporer, mampu segera mandiri secara finansial dan melek teknologi digital. Meskipun pada kenyataannya golongan pemuda kelas menengah semacam ini sangat sedikit. Kebijakan lain yang dapat diamati pada masa pemerintahan Jokowi dalam kaitannya dengan transisi pemuda dari dunia pendidikan ke dunia kerja adalah semakin digalakannya pelajaran kewirausahaan disetiap jenjang pendidikan yang dibarengi dengan glorifikasi pemuda yang mau terjun di bidang entepreneurship. Kegagalan pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja, kemudian dilimpahkan oleh setiap individu pemuda untuk dapat berwirausaha memenuhi kebutuhannya sendiri bahkan turut menciptakan lapangan pekerjaan. Kebijakan selanjutnya yang masih “fresh” bernuansa neoliberal adalah kebijakan “Merdeka Belajar-Kampus-Merdeka” (MBKM). Kebijakan ini barangkali adalah kebijakan pemerintah paling “serius” dalam mengatur kelancaran transisi pemuda dari dunia pendidikan ke dunia kerja. Kebijakan MBKM menurut pemerintah dilatar belakangi oleh keharusan untuk menghadirkan link and match antara dunia pendidikan dengan dunia kerja, agar para lulusan universitas dapat relevan dan diserap dengan dunia usaha (Kemdikbud, 2020). Latar belakang tersebut berdiri diatas asumsi bahwa selama ini yang menyebabkan masalah ketenagakerjaan adalah karena kapasitas lulusan perguruan tinggi tidak sesuai dengan kebutuhan dunia usaha. Alih-alih menyelesaikan persoalan struktural semaca itu, pemerintah justru sangat fokus hanya mengembangkan modal manusia yang dimiliki pemuda dengan percaya bahwa melalui kebebasan untuk mengikuti magang ataupun dibukanya pilihan untuk mengambil studi yang relevan dengan dunia kerja, dapat secara otomatis mampu mensukseskan pemuda dalam transisi menuju dunia kerja. Padahal keadaannya masih sama, tidak peduli apakah pemuda di Indonesia telah berpendidikan lebih baik dari generasi sebelumnya atau apakah kondisi ekonomi sedang lesu atau bertumbuh, hal tersebut tetap tidak menjadi jaminan adanya lapangan kerja yang tersedia bagi pemuda (Naafs & White, 2012). Persoalan struktural dalam dunia pendidikan dan transisi ke dunia kerja seperti rendahnya gaji guru, ketimpangan kualitas pendidikan antar daerah, ataupun sedikitnya lapangan kerja layak yang tersedia yang notabene merupakan akar dari permasalahan yang ada justru nyaris tidak pernah tersentuh.

Dalam menghadapi dunia yang penuh ambivalensi, kontradiksi, dan individualisasi menjadi nilai yang dominan, maka pemuda diharuskan untuk memiliki kapasitas refleksif yaitu kemampuan untuk melakukan refleks pengambilan keputusan secara cepat dalam menghadapi berbagai rintangan yang menghadang. Dengan kapasitas ini bukan berarti pemuda memiliki strategi ampuh untuk memitigasi risiko dan ketidakpastian tetapi justru sebaliknya setiap individu pemuda secara ontologis berada dalam situasi ketidaktahuan namun dirinya dipaksa untuk terus merespon secara taktis berbagai rintangan akibat perubahan sosial yang terus terjadi (Sutopo & Meiji, 2017). Kapasitas refleksif memang mutlak dibutuhkan oleh pemuda diseluruh kelas sosial, namun kelas sosial tetap sangat menentukan bentang pilihan yang dimiliki pemuda dalam rangka melakukan refleks atas masalah yang dihadapinya. Jika kembali melihat pada situasi yang dihadapi pemuda pada masa pemerintahan Jokowi sekarang, bagi pemuda kelas bawah yang dapat dilakukannya tentu adalah seputar upaya bertahan hidup ditengah kemiskinan yang menyelimutinya. Pilihan seperti menempuh pendidikan tinggi ataupun mengikuti magang MBKM barangkali tidak pernah muncul sebagai alternatif pilihan di benaknya karena baginya kapasitas refleksif lebih dicurahkan untuk kerja-kerja menyambung hidup. Hal ini berbeda dengan yang dihadapi oleh pemuda kelas atas (elite) mereka memang sama-sama menghadapi kerentanan dalam transisi ke dunia kerja namun tetap memiliki priviliges lebih lantaran sejak awal mereka mempunyai berbagai macam kapital: kapital ekonomi, budaya, dan sosial. Dengan menggunakan beragam kapital tersebut, pemuda kelas atas memiliki kesempatan “menang” lebih besar dalam arena kompetisi transisi ke dunia kerja. Dalam kaitannya dengan corak kebijakan pemerintah Jokowi, pemuda kelas atas adalah contoh ideal dari yang disebut millenial oleh pemerintah karena mereka memiliki kemapanan finansial dan dibesarkan dalam keluarga dengan akses teknologi yang memadai. Dalam mengikuti kebijakan MBKM pun mereka juga tetap diuntungkan, kebanyakan pemuda kelas atas biasanya telah banyak memenuhi requirements dari beragam program MBKM yang ada. Sebagai contoh pada program magang, pemuda kelas atas biasanya telah mendapatkan pendidikan di perguruan tinggi terbaik sehingga memiliki daya jual tinggi untuk magang, mempunyai skill penunjang seperti berbahasa inggris karena sejak kecil telah mendapatkan kursus, bahkan siap jika ditempatkan magang di kota-kota besar yang jauh darinya karena dirinya memiliki modal untuk hidup merantau. Namun, yang paling penting adalah pemuda kelas atas tidak memiliki beban ekonomi seperti halnya pemuda kelas bawah. Mereka dapat benar-benar fokus dalam melakukan akumulasi kapital penunjang masa depannya tanpa memikirkan perut yang lapar di esok hari. Terakhir apabila semua jalan yang ditempuh tetap gagal memberinya pekerjaan layak di masa depan, dia tidak perlu risau karena orang tuanya dapat menjadi sponsor pendanaan untuk mengembangkan bisnis menjadi seorang entepreneur.

Situasi yang cukup rumit dirasakan oleh pemuda kelas menengah. Meskipun barangkali beban yang dipikulnya tidak seberat oleh pemuda kelas bawah tapi pemuda kelas menengah menghadapi ambivalensi dan pilihan dilematis yang tidak bisa danggap enteng. Dirinya diharapkan menjadi sosok millenial harapan bangsa yang selalu inovatif dalam menggunakan teknologi namun dirinya sebenarnya sangat pas-pasan dalam pemanfaatan teknologi. Dia memang menggunakan gadget tapi secara spesifikasi hanya low-end, punya kemampuan untuk mendapatkan akses internet tapi hanya mampu membeli kuota untuk kebutuhan pokoknya, memiliki semangat untuk berinovasi tapi kerap terhalang oleh realitas struktural yang memaksanya menurunkan ambisi. Sementara itu, kebijakan seperti MBKM seolah menjadi oase di tengah gurun ketidakpastian masa depan yang dijalani pemuda kelas menengah. Kemudahan akses magang dan menjalani studi yang relevan dengan dunia kerja adalah pilihan rasional yang dapat diambil oleh pemuda kelas menengah yang secara modal pas-pasan. Melalui MBKM, mereka dipaksa untuk berkompetisi dalam mempersiapkan kompetisi yang sesungguhnya di dunia masa depan. Menjani hidup hustle culture adalah konsekuensi yang harus diterima. Pagi kuliah, siang bekerja part-time, sore rapat organisasi, malam mempersiapkan persyaratan magang, dan dini hari mengerjakan tugas kuliah atau overthinking perihal skripsi telah menjadi rutinitas yang dijalani pemuda kelas menengah. Tentu saja, menjalani hidup semacam ini membutuhkan ketahanan fisik maupun mental yang kuat tapi seperti kata pepatah “berakit-rakit dahulu, berenang-renang ketepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang ketepian”. Meski tepi dan kesenangan yang dibayangkan masih sangatlah samar bahkan tak nampak sama sekali. Kondisi pemuda kelas menengah semacam ini, telah direkam oleh beberapa kajian kepemudaan yang menemukan bahwa pengalaman pemuda kelas menengah mencerminkan optimisme dan mengungkapkan tekanan yang cukup besar dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ambisi mereka untuk mendapatkan pekerjaan dari pendidikan yang mereka tempuh serta hasrat untuk melakukan konsumsi harus selalu dinegosiasikan dengan hambatan struktural dan ambivalensi akibat perubahan sosial yang terjadi (Naafs. 2017). Dengan kata lain, menjadi pemuda kelas menengah tetaplah sulit meskipun pemerintah telah melihatnya dalam konotasi positif alih-alih patologis. Pembangunan positif pemuda tidak benar-benar melepaskan pemuda dari kerentanan, tapi justru semakin membuatnya tertekan lantara faktor-faktor yang sifatnya struktural justru dibebankan pada pemuda secara individual, dan peran negara semakin dibatasi (Sukarieh & Tannock, 2011).

Penutup: Prospek Agenda Riset Masa Depan Studi Kepemudaan Indonesia

Tulisan ini membahas bagaimana posisi pemuda kelas menengah dalam isu transisi dari dunia pendidikan ke dunia kerja sangat dipengaruhi oleh corak pembangunan kepemudaan yang dijalankan oleh suatu rezim. Perbandingan yang dimunculkan pada tulisan ini melihat bahwa rezim orde baru condong melihat pemuda secara patologis yang berimplikasi pada corak kebijakan yang lebih berfokus pada aspek moralitas, kultural, dan kewarganegaraan alih-alih memastikan kelancaran transisi pemuda dari dunia pendidikan ke dunia kerja. Hal yang berbeda terjadi pada masa pemerintahan Jokowi yang dalam konteks pasca-reformasi lebih melihat pemuda dalam konotasi positif mengikuti penyesuaian neoliberal yang sedang terjadi. Kesulitan yang dihadapi pemuda dalam mencapai transisi dari pendidikan ke dunia kerja pada akhirnya berdampak pada sulitnya pemuda mencapai kemapanan finansial, “berbakti” kepada orang tua, maupun melangsungkan pernikahan dan memiliki rumah pribadi. Singkatnya, keberhasilan transisi pemuda dari dunia pendidikan ke dunia kerja sangat menentukan keberhasilan pemuda dalam menggapai “Indonesian Dreams

Dalam kajian kepemudaan, pertanyaan seputar hubungan pemuda dengan pekerjaan dalam perspektif transisi berkaitan dengan kondisi ketidaksetaraan struktural yang dialami pemuda, tingkat keamanan kerja, remunerasi, dan kondisi kerja keseluruhan lainnya yang dialami pemuda (Furlong & Cartmel, 2007; McDonald. 2011). Pertanyaan seputar hal tersebut digambarkan Griffin (2013) sebagai “big question” yang menggerakkan riset dan pengembangan dalam studi kepemudaan. Situasi tersebut menyebabkan adanya diskriminasi terhadap topik riset yang membahas proses pembentukan subjektifitas pemuda sebagai pekerja (Farugia 2021). Sementara itu, kajian kepemudaan di Indonesia memang diarahkan dalam semangat untuk memperhatikan keagensian pemuda dalam menghadapi dunianya (Djalong & Azca, 2011). Oleh sebab itu, dalam isu transisi pemuda dari pendidikan ke dunia kerja di Indonesia, riset-riset yang muncul adalah seputar kapasitas refleksif pemuda dalam menghadapi transisi (Sutopo & Meiji, 2017; Kuslarassakti & Sutopo, 2020), perspektif pemuda dari negara selatan (Sutopo, 2013), strategi pemuda dalam menghadapi transisi (Sutopo, 2013), dan aspirasi kaum muda dalam memandang proses transisi (Sutopo, 2014; Naafs, 2018). Padahal penting juga bagi kita untuk melihat bagaimana kekuatan eksternal seperti kuasa negara dan pasar coba membentuk pemuda dalam proses transisinya dari dunia pendidikan ke dunia kerja. Apa yang dipaparkan pada bagian sebelumnya tentang bagaimana pemuda menyesuaikan diri dengan rule of the games yang dibuat rezim berkuasa tidak semata terjadi karena pemuda terpaksa tunduk patuh dengan otoritas negara tetapi juga karena keberhasilan pemerintah dalam membingkai narasi agar kebijakannya diterima sebagai solusi atas persoalan yang dihadapi pemuda. Hal yang perlu dipahami adalah bahwa kebijakan publik selalu terdapat diskursif dasar seputar pendefinisian masalah, framing, dan narasi atau wacana yang dihadirkan (Rochefort & Donnelly, 2013). Oleh sebab itu juga, kebijakan publik juga beroperasi dalam membentuk kognisi, preferensi, dan pengambilan keputusan individu (Shanahan et al, 2018). Pertanyaan seputar bagaimana cara pemerintah dalam mempengaruhi kognisi dan preferensi pemuda dalam kaitannya dengan isu transisi dari dunia pendidikan ke dunia kerja masih belum dieksplorasi. Pendekatan Narrative Policy Analysis (NPA) dalam studi kebijakan publik memiliki kemampuan teoritis dan metodologis untuk menyelidiki hal tersebut. Upaya semacam ini penting tidak hanya untuk melihat bagaimana pemuda sebagai agensi coba dinarasikan dan dipengaruhi oleh kekuasaan melalui kebijakan publik tapi juga memberikan ruang untuk menyusun counter narasi dari narasi neoliberal yang dibangun pemerintah dan aktor lainnya dalam proses transisi pemuda. Pada akhirnya, topik inilah yang akan menjadi topik skripsi penulis sebagai syarat menyelesaikan studi S1 di Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik sekaligus sebagai kontribusi dalam studi kepemudaan di Indonesia.

FOOTNOTE

[1] Statistik angka pertumbuhan ekonomi masih menjadi indikator paling umum dalam menilai keberhasilan suatu rezim pemerintahan di Indonesia (Ananta, 2006). Hal ini membuat diskursus publik masih sangat dangkal karena pertumbuhan ekonomi itu sendiri sebenarnya masih jauh dari kata cukup untuk menilai kinerja suatu pemerintahan.

[2] Mengikuti Sutopo (2014) dan Naafs (2018) pemuda kelas menengah sebenarnya dapat dibagi lagi menjadi dua kategori yaitu kelas menengah atas dan kelas menengah bawah. Variasi ini memberikan kita pemahaman yang lebih luas dan spesifik tentang apa saja yang dihadapi oleh pemuda meskipun sama-sama termasuk dalam kategori kelas menengah.

REFERENSI

Ananta, A. (2006). Mudarat dan Manfaat Statistik Ekonomi Sosial, in Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: Equinox

Andriyani, V. E., & Irawan, T. (2018). Identification of Premature Deindustrialization and Its Acceleration in Indonesia (Period 1986–2015). Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, 7(1), 78–101[16].

Ariteja, S. (2017). Demographic Bonus for Indonesia: Challenges and Policy Implications of Promoting Universal Health Coverage. Jurnal Perencanaan Pembangunan: The Indonesian Journal of Development Planning, 1(3), 265–274.

Asian Development Bank. (2010). The Rise of Asia’s Middle Class. In Key Indicators for Asia and the Pacific 2010,1– 55. Mandaluyong City, Asian Development Bank

Brown, P., Lauder, H., & Ashton, D. (2011). The global auction: The broken promises of education, jobs, and incomes. Oxford University Press.

Djalong, F.F. & Azca, N. (2011). Pemuda pasca orba: Membaca kembali agensi di masa pancaroba in periode pasca Orde Baru. N. Azca, Pemuda Pasca Orba: Potret Kontemporer Pemuda Indonesia, 21–36.

Farrugia, D. (2021). Youth, work and global capitalism: new directions. Journal of Youth Studies, 24(3), 372–387.

Farid, H. (2006). Masalah Kelas dalam Ilmu Sosial Indonesia. in Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: Equinox

Furlong, A., & Cartmel, F. (2006). Young people and social change. McGraw-Hill Education (UK)..

Gerke, S. (2000). Global Lifestyles under Local Conditions: The New Indonesian Middle Class. In Consumption in Asia: Lifestyles and Identities, edited by Chua Beng-Huat, 135–158. London: Routledge.

Griffin, C. (2013). Representations of youth: The study of youth and adolescence in Britain and America

Griffin, C. (2001). Imagining new narratives of youth: youth research, thenew Europe’and global youth culture. Childhood, 8(2), 147–166

Habibi, M. (1919). Surplus pekerja di kapitalisme pinggiran: Relasi kelas, akumulasi, dan proletariat informal di Indonesia sejak 1980an. Tangerang Selatan. Marjin Kiri

Hadiz, V., & Robison, R. (2004). Reorganising power in Indonesia: The politics of oligarchy in an age of markets. Routledge.

Heiman, Rachel, Liechty, M., and Freeman, C. (2012). “Charting an Anthropology of the Middle Classes.” In The Global Middle Classes: Theorising Through Ethnography, edited by Rachel Heiman, Carla Freeman, and Mark Liechty, 3–30. Santa Fe: School for Advanced Research Press.

Heryanto, A. (2006). Kiblat dan Beban Ideologis Ilmu Sosial. in Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: Equinox

Irwan, A. (2006). Dalil Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumber Daya. in Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: Equinox

Jones, G. (2009). Youth. UK: Polity.

Kemdikbud. (2020). Buku Panduan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemdikbud RI. diakses dari: http://dikti.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2020/04/Buku-Panduan-Merdeka-Belajar-Kampus-Merdeka-2020

Kuslarassakti, M. P., & Sutopo, O. R. (2020). Mobilitas dan Refleksivitas: Strategi Pemuda Yogyakarta di Masa Transisi menuju Dunia Kerja. JSW (Jurnal Sosiologi Walisongo), 4(1), 87–100.

Lukacs, G. (2015). Labor games: youth, work, and politics in East Asia. positions: east asia cultures critique, 23(3), 381–409.

MacDonald, R. (2011). Youth transitions, unemployment and underemployment: Plus ça change, plus c’est la même chose?. Journal of Sociology, 47(4), 427–444.

Minza, W. M. (2011). Class and The Making of Social Adulthood in Pontianak, West Kalimantan in Azca M. Najib et.al. Pemuda Pasca Orba: Potret Kontemporer Pemuda Indonesia. Yogyakarta: Youth Studies Centre.

Mudhoffir, A.M. (2021). Ilmu Sosial Borjuis: Mengapa Aktivisme Borjuis-Liberal Dominan di Indonesia?. https://indoprogress.com/2021/08/ilmu-sosial-borjuis-mengapa-aktivisme-borjuis-liberal-dominan-di-indonesia/

Naafs, S. (2018). Youth aspirations and employment in provincial Indonesia: a view from the lower middle classes. Children’s Geographies, 16(1), 53–65.

Naafs, S., & Skelton, T. (2018). Youthful futures? Aspirations, education and employment in Asia. Children’s Geographies, 16(1), 1–14.

Naafs, S., & White, B. (2012). Intermediate generations: reflections on Indonesian youth studies. The Asia Pacific Journal of Anthropology, 13(1), 3–20.

Nilan, P. (2008). Youth Transitions to Urban, Middle Class Marriage in Indonesia: Faith, Family and Finances. Journal of Youth Studies, 11(1), 65–82.

Octifanny, Y. (2020). The History of Urbanization in Java Island: Path to Contemporary Urbanization. TATALOKA, 22(4).

Parker, L., & Nilan, P. (2013). Adolescents in contemporary Indonesia. Routledge.

Pitoyo, A. J. (2007). Dinamika Sektor Informal Di Indonesia Prospek, Perkembangan, dan Kedudukannya dalam Sistem Ekonomi Makro. Populasi, 18(2007).

Pontoh, Coen H. (2021). Menginvestigasi Kelas Menengah: Tanggapan untuk Abdil Mughis Mudhoffir. https://indoprogress.com/2021/06/menginvestigasi-kelas-menengah-tanggapan-untuk-abdil-mughis-mudhoffir/

Robison, R. (1996). The Middle Class and the Bourgeoisie in Indonesia. In The New Rich in Asia: Mobile Phones, McDonald’s and Middle-Class Revolution, edited by Richard Robison and Dan S. G. Goodman, 79–104. London: Routledge.

Robison, R. (2009). Indonesia: The rise of capital. Equinox Publishing.

Rochefort, D. A., & Donnelly, K. P. (2012). Agenda-setting and political discourse: major analytical frameworks and their application. In Routledge handbook of public policy (pp. 207–221). Routledge.

Samuel, H., & Sutopo, O. R. (2013). The many faces of indonesia: knowledge production and power relations. Asian Social Science, 9(13), 289.

Shanahan, E. A., Jones, M. D., & McBeth, M. K. (2018). How to conduct a Narrative Policy Framework study. The Social Science Journal, 55(3), 332–345.

Sukarieh, M., & Tannock, S. (2011). The positivity imperative: A critical look at the ‘new’youth development movement. Journal of Youth Studies, 14(6), 675–691.

Sutopo O. R. (2013). Transisi Pemuda Yogyakarta Menuju Dunia Kerja: Narasi dan Perspektif dari Selatan. Jurnal Universitas Paramadina, 10(2), 698–719.

Sutopo, O. R. (2013). Hidup adalah perjuangan: Strategi pemuda Yogyakarta dalam transisi dari dunia pendidikan ke dunia kerja. Jurnal Sosiologi Masyarakat, 166.

Sutopo, O. R. (2014). Social generation, class and experiences of youth transition in Indonesia. Asian Journal of Social Sciences and Humanities, 3(3), 126–134.

Sutopo, O. R. (2014). Transisi Pemuda Dalam Masyarakat Risiko: Antara Aspirasi, Hambatan dan Ketidakpastian. Jurnal Universitas Paramadina, 11(3), 1164–1186.

Sutopo, O. R., & Meiji, N. H. P. (2017). Kapasitas Refleksif Pemuda dalam Transisi Menuju Dunia Kerja. Jurnal Sosiologi Walisongo, 1(1), 1–16.

Suzanne Naafs (2017): Youth aspirations and employment in provincial Indonesia: a view from the lower middle classes, Children’s Geographies, DOI: 10.1080/14733285.2017.1350634

Trijono, L., & Djalong, F. F. (2011). Pemuda sebagai agensi politik problem dan tantangan dalam periode pasca Orde Baru. N. Azca, Pemuda Pasca Orba: Potret Kontemporer Pemuda Indonesia, 21–36.

UU NO 11. (2020). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Wihardja, M. M., & Cunningham, W. (2021). Pathways to Middle-Class Jobs in Indonesia. Australian Government and World Bank Technical Report. https://www.worldbank.org/in/country/indonesia/publication/pathways-to-middle-class-jobs-in-indonesia

World Bank (2020). Aspirasi Indonesia: Memperluas Kelas Menengah. World Bank. https://www.worldbank.org/in/country/indonesia/publication/aspiring-indonesia-expanding-the-middle-class

--

--

Maulana Aji Negara
Maulana Aji Negara

Written by Maulana Aji Negara

Mahasiswa Manajemen dan Kebijakan Publik FISIPOL UGM

No responses yet