Angkatan Pandemi: Refleksi Kritis Seorang Mahasiswa UGM
dalam Perspektif Generasi Pemuda
Pendahuluan
Pemuda hampir selalu ada dalam berbagai wacana, sebagai subjek yang membentang dalam proses menyejarah. Sebagai subjek pemuda tidak bisa lepas dari hasil konstruksi pengetahuan yang terpaut erat dengan kekuasan dan kepentingan negara, pasar, maupun pemuda itu sendiri (Azca & Rahadianto, 2012). Oleh karenanya, pemuda selalu berada dalam proses “becoming” dan terlibat dalam kontestasi makna akan pemuda itu sendiri. Memahami kaum muda memberikan jendela unik tentang proses perubahan sosial dan ekonomi serta memfasilitasi eksplorasi beberapa masalah teoretis besar dalam ilmu sosial (Furlong, 2013). Namun siapa sebenarnya pemuda? Jawaban umum yang beredar di masyarakat adalah melihat pemuda berdasarkan aspek biologis dan rentang usia. Di Indonesia, ada UU No 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan yang menjelaskan bahwa pemuda adalah mereka yang berusia 16–30 tahun. Pendefinisian pemuda berdasarkan rentang usia ataupun aspek biologis lainnya tentu tidaklah salah, namun hal ini mereduksi kompleksitas akan pemuda itu sendiri khususnya dalam dimensi sosial dimana pemuda itu hadir dan berkembang.
Tulisan ini akan membahas pemuda dengan menggunakan perspektif generasi. Penjelasan mengenai apa itu perspektif generasi akan dijelaskan pada bagian selanjutnya. Perlu dijelaskan bahwa tulisan ini bersifat reflektif dan banyak menjadikan pengalaman subjektif penulis sebagai bahan analisisnya. Hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa penulis sendiri adalah pemuda yang sedang mengalami proses pendewasaan, turut andil dalam menghasilkan budaya muda, sekaligus terikat dengan konteks sosial, ekonomi, dan politik yang spesifik. Oleh karenanya, dengan menggunakan perspektif generasi, subjek yang akan dibahas adalah generasi pemuda Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Gadjah Mada (UGM) di tengah situasi pandemi COVID-19 saat ini. Sebagai sebuah generasi, pemuda yang menempuh pendidikan di UGM di tengah pandemi saat ini tentu memiliki kondisi spesifik. Tulisan ini akan menerangkan berbagai kondisi tersebut seputar beban dan risiko yang dihadapinya dalam relasi pemuda dengan generasi sebelumnya, negara, hingga pasar. Selanjutnya tulisan ini juga mengeksplorasi bagaimana generasi pemuda yang dibahas melakukan resistensi ataupun adaptasi melalui gaya hidup dan gerakan sosial. Dalam tulisan ini kata pemuda akan sering dipertukarkan dengan kata mahasiswa. Menjadi pemuda tidak harus menjadi mahasiswa, namun menjadi mahasiswa hampir pasti juga menjadi pemuda[1]. Sehingga ketika kita membicarakan mahasiswa UGM maka tidak lain kita sedang membicarakan pemuda yang menempuh pendidikan di UGM. Mengingat tulisan ini bersifat reflektif, maka harus dicermati bias-bias penulis baik kelas, gender, agama, hingga etnis. Penulis sendiri adalah seorang pemuda laki-laki beragama Islam yang lahir dari keluarga menengah dan tumbuh sebagai pemuda di wilayah sub-urban di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagai mahasiswa di FISIPOL UGM, penulis terlibat aktif dalam berbagai organisasi mulai dari himpunan tingkat departemen, Badan Eksekutif Mahasiswa di level universitas, pers mahasiswa, hingga organisasi ekstra kampus. Pengenalan diri penulis penting, untuk menumbuhkan kepekaan pembaca terkait bias yang mungkin muncul dalam tulisan ini.
Mendamaikan Dua Kutub yang Bersitegang
Hal ihwal perihal pemuda dalam dimensi sosial dikaji dalam studi kepemudaan. Terdapat dikotomi dua kutub yang sangat kentara dalam perdebatan di studi pemuda yaitu perspektif transisi dan perspektif budaya. Perspektif pertama (transisi) berfokus pada transisi dari pemuda ke ‘dewasa’ yang mencoba melihat pola-pola transisi yang terjadi beserta struktur ketidaksetaraan di dalamnya (Woodman & Bennett, 2015). Dalam perspektif ini perkembangan pemuda digambarkan akan bertemu dengan institusi keluarga, pendidikan, dan kerja sehingga dirinya mengalami tiga fase yaitu transisi dari pendidikan menuju dunia kerja, transisi menuju pernikahan, dan transisi menuju rumah sendiri (Sutopo. 2016). Sedangkan pada perspektif budaya, berfokus pada bentuk budaya yang dilakukan dan dihasilkan anak muda yang seringkali menyoroti kreativitas mereka dalam perlawanan terhadap status quo (subversive) melalui subkultur-subkultur (punk, geng, hip-hop, dll.) (Bennet, 2002; Blackman, 2014).
Dalam perkembangannya, kedua perspektif ini mendapat banyak perhatian untuk menjembatani keduanya lantaran adanya resonansi hingga konvergensi dalam tingkat konseptual di studi kepemudaan (Woodman & Bennett 2015; Johansson, 2017). Selain itu, pada dimensi empiris, nyatanya pemuda dalam waktu bersamaan memang mengalami transisi-transisi menuju kedewasaan sekaligus menjadi produsen budaya yang khas sebagai anak muda. Oleh sebab itu, muncul perspektif ketiga dalam studi kepemudaan yang semakin populer karena ditengarai dapat mendamaikan ketegangan teoritis yaitu perspektif generasi. Kontekstualitas dan perubahan sosial adalah dua elemen penting dalam memahami pemuda sebagai generasi (France & Roberts, 2015). Kontekstualitas mengacu pada realitas dimana pemuda selalu berada dalam rangkaian kondisi ekonomi, sosial, politik, dan budaya tertentu (Wyn & Woodman, 2006) yang membentuk nilai, kepercayaan, dan pandangan hidupnya. Permasalahannya, setiap generasi memiliki konteks spesifik yang berbeda sehingga nilai-nilai yang mereka ilhami juga berbeda. Perbedaan ini pada akhirnya memicu konflik antar generasi yang nantinya menyebabkan perubahan sosial (Manheim, 1970). Salah satu pengetahuan umum akan pemuda sebagai generasi misalnya adalah penggolongan generasi berdasarkan tahun lahir dengan konteks yang menyertainya seperti generasi X, Millenial, Z, dsb. yang meskipun itu simplifikasi namun cukup memberikan bayangan bagi kita dalam melihat pemuda sebagai generasi. Perspektif generasi inilah yang akan dijadikan sebagai acuan analisis dalam membaca realitas kepemudaan mahasiswa UGM angkatan pandemi.
Tantangan dan Risiko Angkatan Pandemi
Ada beberapa kesamaan yang selalu ada di setiap generasi mahasiswa UGM yaitu perihal kelas dan latar belakang tempat tinggal. Di Indonesia, menjadi mahasiswa dan menamatkan kuliah itu sendiri adalah privilige karena hanya 8,5% dari total populasi di Indonesia yang berkesempatan mengenyam perkuliahan[1] (Kompas, 2020). Sehingga tidak heran, persaingan masuk di UGM sangat ketat dan secara alamiah persaingan tersebut sangat ditentukan oleh kelas sosial seseorang. Kebanyakan yang berhasil masuk di UGM adalah mereka yang berasal dari kelas menengah keatas[2] yang mampu melalui beratnya persaingan masuk ke UGM dengan berbagai fasilitas pendidikan yang disediakan keluarganya. Oleh karena itu, menjadi mahasiswa UGM jauh lebih privilige karena mereka yang masuk adalah kelas menengah keatas yang kemudian mendapatkan kualitas pendidikan terbaik di Indonesia dan masih disubsidi negara. Dari latar belakang tempat tinggal, mayoritas mereka yang masuk di UGM bertempat tinggal di Pulau Jawa. Mereka inilah yang secara tidak langsung menikmati buah pembangunan yang timpang yang terkonsentrasi di Pulau Jawa. Kedua variabel inilah yang menurut penulis selalu melekat pada mahasiswa (pemuda) di UGM yang sifatnya lintas generasi.
Dalam kajian generasi pemuda di Indonesia, seringkali generasi dibedakan dengan melihat perubahan sosial-politik dari suatu rezim, dimana pemuda menjadi aktor sentral dalam perubahan tersebut yang memunculkan angkatan 66’ dan angkatan 98’ (Naafs & White, 2012). Hal tersebut mungkin juga dapat digunakan untuk membaca generasi mahasiswa UGM karena UGM sendiri adalah proponen penting dalam gerakan mahasiswa di Indonesia. Namun pembacaan generasi pemuda berdasarkan situasi sosial-politik dari suatu rezim saja untuk saat ini kurang komprehensif karena adanya variabel alamiah yaitu pandemi COVID-19 yang hadir dan menjadi konteks spesifik dalam membedakan generasi mahasiswa UGM saat ini dengan generasi sebelum maupun sesudahnya. Meskipun terjadi secara natural namun pandemi berpengaruh dalam perubahan multidimensional. Dari dimensi ekonomi, mahasiswa angkatan pandemi lebih membutuhkan kuota internet, perangkat yang mumpuni, hingga netflix untuk menjalani rutinitasnya. Dari dimensi sosial, mahasiswa angkatan pandemi tumbuh dan berkembang dengan interaksi sebatas zoom dan gmeet yang tentu akan berpengaruh terhadap hubungan pertemanan antar mahasiswa. Hal ini juga berpengaruh terhadap kegiatan sosial di kampus yang penuh sesak dengan aktivitas webinar, diskusi, hingga bonding virtual. Dalam dimensi politik mahasiswa angkatan pandemi dituntut untuk melakukan aktivitas politisnya melalui aktivisme digital yang menggunakan propaganda di media sosial dengan harapan mampu membuatnya menjadi diskursus publik yang memiliki daya tekan. Gerakan turun ke jalan semakin jarang dilakukan, kalaupun dilakukan jumlah pesertanya sangat sedikit dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Perbedaan multidimensi yang dialami mahasiswa angkatan pandemi membuat dirinya sebagai generasi mengahadapi beban yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Beban disini terkait relasi antara pemuda dengan generasi sebelumnya, negara, hingga pasar dalam lanskap kekuasaan. Tidak dipungkiri bahwa beban mahasiswa UGM angkatan pandemi banyak diantaranya juga dirasakan oleh pemuda non-mahasiswa UGM maupun sesama mahasiswa UGM namun tidak merasakan pandemi. Akan tetapi, selalu ada perbedaan spesifik yang dialami oleh mereka angkatan pandemi dibanding dengan generasi lainnya. Disini, beban tersebut akan dibagi menjadi tiga level yaitu level universitas, nasional, hingga global. Pada level universitas, beban yang ditanggung oleh angkatan pandemi tentu berkait erat dengan kegiatan perkuliahan, dimana UGM sebagai kampus terbaik memiliki kepentingan untuk menjaga nama baiknya dengan memastikan kualitas pembelajaran tetap baik meskipun dijalankan daring. Upaya ini tidak salah, namun itu tidak seindah yang dibayangkan karena yang muncul adalah seperti beban tugas yang semakin berat, fleksibilitas kuliah yang mengganggu kehidupan pribadi, anjuran untuk melakukan riset skripsi dengan metodologi mutakhir berbasis data digital hingga adanya tekanan dari kampus agar cepat lulus[3].
Di level nasional, beban yang diterima oleh angkatan pandemi mahasiswa UGM berkaitan dengan dampak pandemi di Indonesia yang menyebabkan lesunya ekonomi sehingga berujung pada gelombang PHK dan makin berkurangnya lapangan kerja akibat banyak badan usaha yang bangkrut. Selain itu, pandemi seolah me-reset dunia ini menjadi serba digital. Keterampilan mengolah data digital, digital marketing, desain grafis, content creator, dll. menjadi keterampilan paling dibutuhkan saat ini dalam pekerjaan. Dua kondisi tersebut menyebabkan beban berat yang harus diterima generasi pandemi yaitu lapangan pekerjaan makin sulit dan kalaupun ada, kebanyakan syaratnya harus memiliki keterampilan digital yang belum pernah dipelajari sebelumnya. Menjadi mahasiswa UGM dalam hal ini juga bukan jaminan keamanan dalam transisi menuju dunia kerja. Hal ini terbukti dari banyaknya mahasiswa yang selama pandemi sangat aktif mengikuti berbagai kegiatan keterampilan, magang, dll. ditengah beratnya beban perkuliahan daring yang semua itu ditujukan sebagai nilai tambah mereka ketika hendak mencari kerja. Ironisnya, kebijakan pemerintah justru memperparah kerentanan mereka. Setelah mereka melalui proses berat dalam pencarian kerja, diterimanya mereka dalam suatu pekerjaan tidak lantas menghilangkan kerentanan lantaran kebijakan baru pemerintah yaitu UU Cipta Kerja telah menyebabkan gelombang prekariatisasi pekerja (Widyananta, 2021). Beban lain yang dirasakan generasi pandemi juga hadir dari berbagai wacana yang ditiupkan pemerintah seputar ‘Generasi Emas Indonesia’, ‘Generasi Millenial’, ‘Bonus Demografi’ dimana semua buzzword tersebut baik eksplisit maupun implisit menjadikan pemuda sebagai tokoh sentral yang mampu berinovasi di tengah pandemi untuk membawa Indonesia bangkit. Beban berat lebih dirasakan oleh mahasiswa UGM sebagai pemuda harapan bangsa karena tidak bisa dipungkiri mereka mendapat banyak perhatian VIP dari pemerintah sebagai kampus terbaik sehingga tentu pemerintah akan lebih memperhatikan guna memastikan apa yang ‘diinvestasikan’ pada mereka sesuai dengan kepentingannya.
Pada level global, pandemi semakin memperlihatkan bahaya dari perubahan iklim yang memicu banyak mutasi genetik dari virus. Agenda-agenda pelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan (SDGs) semakin disematkan pada generasi muda sekalipun kerusakan tersebut disebabkan oleh kelalaian generasi sebelumnya. Di UGM, tema-tema seputar pelestarian lingkungan dan SDGs sangat sering diangkat sebagai tema webinar maupun kompetisi ilmiah. Hal ini bukanlah hal yang buruk, dan justru menunjukkan bahwa pengalaman pandemi meningkatkan tingginya awareness akan kerusakan lingkungan. Namun, hal ini tetap harus dibaca sebagai beban yang dipikul oleh generasi muda khususnya mahasiswa UGM angkatan pandemi. Beban lain di tingkat global juga berasal dari masifnya penetrasi neoliberalisme global yang melakukan penyesuaian dengan pembangunan pemuda positif yang melihat pemuda tidak lagi sebagai ancaman namun lebih seperti modal dan investasi dengan dalil akan ketahanan individu dan human capital (Sukarieh & Tannock, 2011). Pandangan tersebut akhirnya mengabaikan faktor struktural yang menjadi penghambat kemajuan pemuda (Hoffman, 2010). Alhasil, yang muncul adalah anjuran pemuda untuk menjadi entepreneur untuk mampu memenuhi kebutuhannya sendiri dengan mengandalkan kreativitas, inovasi, melek finansial dan ketahanan tanpa mempedulikan kesenjangan struktural dibaliknya (Sukarieh & Tannock, 2008). Di UGM, gelombang semangat enteprenur sangat populer di kalangan mahasiswa yang membuat mereka berani untuk membuka beragam usaha kecil untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan begitu, penetrasi neoliberal ini sejatinya berpengaruh tidak hanya di level global namun juga nasional, dan universitas. Ciri khas utama dalam gelombang neoliberalisme adalah bahwa tantangan dan risiko yang dihadapi oleh pemuda semuanya dibebankan pada pemuda tersebut sebagai individu. Situasi ini diterima begitu saja tanpa adanya iktikad mencari alternatif karena seperti yang dikatakan Margaret Thatcher “there is no alternative”.
Resistensi dan Adaptasi di Pusaran Pragmatisme
Dalam menghadapi beragam tantangan yang dihadapinya, ada dua kemungkinan yang dilakukan oleh pemuda yaitu resistensi ataupun adaptasi melalui gaya hidup dan gerakan sosial. Untuk gaya hidup, sangat jarang ditemukan gaya hidup mahasiswa UGM yang memiliki makna sebagai resistensi akan berbagai tekanan yang dihadapinya. Resistensi dalam bentuk gaya hidup sependek yang penulis ketahui hanya muncul dalam gaya hidup Islam konservatif yang dilakukan oleh golongan tarbiyah di kampus. Gaya hidup tersebut muncul sebagai pelengkap dari Islam tarbiyah sebagai gerakan sosial. Gaya hidup Islami seperti mengenakan jilbab panjang, bercadar, berjenggot, dan berbagai atribut lain keislaman lainnya adalah bentuk penolakan terhadap nilai-nilai barat yang terinfiltrasi dari proses neoliberalisme global. Akan tetapi, tidak semua bentuk gaya hidup semacam ini merupakan bentuk resistensi. Ada juga mereka yang bergaya hidup Islami namun tanpa ada niatan resistensi apapun, melainkan hanya sebagai bentuk adaptasi. Bergaya hidup Islam konservatif bagi beberapa pemuda dianggap sebagai sumber ketenangan batin yang dibutuhkan di dunia saat ini. Dengan kata lain, gaya hidup Islam konservatif yang dilakukan mahasiswa UGM tidak selalu bentuk resistensi namun bisa juga adaptasi. Ekspresi adaptasi gaya hidup lain yang tidak berdasarkan moral agama adalah gaya hidup hustle culture yang marak dilakukan mahasiswa UGM dengan mengikuti berbagai kegiatan organisasi, magang, lomba, sekaligus menjadi ‘ambis’ di perkuliahan. Tidak jarang gaya hidup seperti ini memaksa mereka mengorbankan waktu istirahat dan kesehatan mental.
Gerakan sosial adalah bentuk yang lebih umum dari resistensi yang dilakukan mahasiswa UGM angkatan pandemi. Dalam melihat bentuk resistensi melalui gerakan sosial akan dibagi menjadi dua kategori mahasiswa. Kategori pertama adalah mahasiswa teknokratis, merujuk pada mereka yang percaya bahwa gerakan sosial tidak perlu dilakukan dalam bentuk aksi massa dengan tuntutan politik tertentu, menurut mereka gerakan sosial yang lebih solutif harusnya muncul dalam bentuk solusi konkrit (teknokrasi) yang diberikan oleh mahasiswa. Hal ini dapat dilacak dari banyaknya mahasiswa UGM yang merintis projek sosial berbasis isu tertentu maupun membuat karya. Mereka kurang memiliki atensi dalam menuntut pemerintah, yang mereka lakukan kebanyakan adalah melakukan pembinaan masyarakat, memberikan bantuan material, dan yang paling populer yaitu membuat aplikasi. Kategori kedua adalah mahasiswa politis yaitu mereka yang melakukan gerakan sosial dengan tujuan untuk menuntut keadilan dari pemerintah, melakukan aksi massa, dan turut aktif dalam agenda politik tertentu. Dalam kategori ini dapat kita bagi lagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah mahasiswa politis-elitis yaitu mereka yang tergabung dalam organisasi gerakan mahasiswa yang sifatnya formal seperti BEM, Dema, LEM dan organisasi ekstra kampus. Mereka ini cenderung meromantisasi peran mahasiswa dan kurang mampu bergabung dalam gerakan grassroot tetapi memiliki akses terhadap pejabat publik. Isu-isu yang dibawakan seringkali bias kelas, karena biasanya kebanyakan dari pentolan organisasi-organisasi tersebut berasal dari kelas menengah keatas. Hal ini dapat kita lihat misalnya pada saat BEM KM UGM mengawal isu TPST Piyungan yang mana dalam pengawalan isu tersebut sangat nampak bias kelas. Fokusnya adalah tuntutan agar TPST Piyungan berfungsi dengan baik sehingga menciptakan tata kota yang bersih nyaman dan teratur. Bayangan kota dengan tata letak yang rapi, lingkungan yang bersih dan indah sangat merepresentasikan kepentingan kelas menengah atas (Pratiyudha, 2019). Hal itu berbeda dengan yang dibayangkan mereka dari kelas bawah atau marjina yang lebih mengharapkan kota yang mampu menjamin kesejahteraan mereka sehari-hari. Eksistensi pemulung sebagai kaum marjinal di TPST Piyungan yang bergantung dari sampah disana kurang disoroti, padahal jika sistem pembuangan di TPST Piyungan benar-benar dioptimalkan seperti tuntutan mereka, barangkali para pemulung tidak bisa lagi mengais rezeki disana. Kelompok selanjutnya adalah mahasiswa politis-idealis yaitu mereka yang terlibat dalam gerakan sosial dengan niat murni membela kaum tertindas. Mereka aktif mengikuti konsolidasi, hadir dalam panggilan gejayan, dan paham akan isu-isu apa yang sedang dia perjuangkan. Mereka biasanya tidak suka memperlihatkan identitas kelompok tertentu dan lebih tertarik menyatu atas nama gerakan. Sayangnya mereka ini sangatlah langka dijumpai.
Resistensi dan penggolongan yang dipaparkan sebelumnya dalam kenyataannya tidak sepenuhnya bisa dibilang resistensi. Resistensi gerakan sosial pemuda seringkali tergerus oleh kepentingan pragmatis, hasrat konsumsi, dan upaya “survival” di tengah gelombang kerentanan (Sutopo, 2016). Akan tetapi makna tergerus tidak melulu tentang resistensi yang memudar ditandai dengan minimnya mahasiswa yang turut aktif dalam gerakan sosial. Tergerus juga bisa berarti saat dimana substansi gerakan sosial telah terkooptasi dengan kepentingan pragmatisme. Mereka yang termasuk kategori mahasiswa teknokratis, seringkali menggunakan kemampuan teknokrasi mereka untuk membentuk komunitas sosial guna memperbagus CV karena dalam seleksi beasiswa dan pekerjaan seringkali mencari mahasiswa yang memiliki ‘kontribusi’ untuk masyarakat. Jika tidak, mereka biasanya menciptakan alat-alat yang ‘laku’ untuk diikutkan lomba karya Ilmiah, karena mereka sadar lomba semacam itu kurang bergairah dengan karya ilmiah kritis dan teoritis namun mencari karya yang praktis dan berguna. Untuk mereka mahasiswa politis-elitis, pragmatisme yang muncul adalah menggunakan gerakan sebagai sarana untuk ‘eksis’ menjadi aktivis. Selain itu jabatan struktural organisasi mahasiswa seperti BEM, Dema, LEM, dan organisasi ekstra kampus dipercaya membuat mahasiswa menjadi lebih laku kerja baik karena jabatan tersebut memang dipandang bonavit maupun karena adanya hubungan patron klien perkoncoan. Sehingga tidak heran, dalam kontestasi politik kampus beberapa pihak mati-matian dalam merebut kursi jabatan yang bahkan seringkali menggunakan cara yang sama bejatnya dengan politik praktis di pemilu dan pilkada. Mereka yang politis-idealis juga tidak sepenuhnya bebas dari pragmatisme. Mereka harus bernegosiasi dengan kebutuhan material dan rutinitas yang memberatkan dalam memperjuangkan idealisme mereka. Hal ini akhirnya berdampak pada menurunnya performa mereka dalam memperjuangkan keadilan.
Penutup
Tulisan ini tidak ditujukan untuk merendahkan pihak tertentu. Bahan kajian dalam tulisan ini sepenuhnya berasal dari pengalaman dan pengamatan pribadi penulis sebagai generasi mahasiswa UGM yang mengalami situasi pandemi. Sebagai sebuah generasi, mereka terikat dengan konteks spesifik yang diterangkan sebagai tantangan dan risiko baik yang muncul karena pandemi maupun yang telah ada sebelumnya. Resistensi memang ada, namun hal tersebut seringkali tunduk dalam ego pragmatisme yang muncul sebagai respon akan kerentanan yang dialaminya. Situasi tersebut sejatinya mengikuti pola umum yang terjadi di berbagai tempat lain ditengah hegemoni neoliberal yang semakin membuat pemuda terjerembab dalam kerentanan Berbagai konteks spesifik ini membentuk nilai, kepercayaan dan pandangan hidup yang berbeda dengan generasi lainnya. Perbedaan inilah yang nantinya menjadi bahan bakar perubahan sosial.
[1] Meskipun tidak dipungkiri ada juga mahasiswa di tingkat S2 dan S3 yang menempuh pendidikan di usia diatas 30 tahun dan telah memiliki keluarga. Namun, dalam tulisan ini yang dibahas adalah mahasiswa di tingkat S1 yang menjadi populasi terbanyak dalam kategori mahasiswa
[2] Desi, Caesaria Sandra, “Hasil Sensus 2020: Hanya 8,5% Penduduk Indonesia Tamat Kuliah, 4 Februari 2021. Kompas. https://www.kompas.com/edu/read/2021/02/04/144307671/hasil-sensus-2020-hanya-85-persen-penduduk-indonesia-tamat-kuliah?page=all
[3] Hal ini berdasarkan pengalaman penulis yang pernah turut andil dalam advokasi kebijakan UKT di FISIPOL. Dalam aktivitas tersebut penulis menemukan bahwa kebanyakan mahasiswa di FISIPOL mendapat UKT di golongan tiga keatas.
[4] Berdasarkan pengalaman penulis sebagai mahasiswa FISIPOL UGM, muncul kebijakan dari beberapa departemen untuk memajukan jalannya Seminar Proposal (Sempro) Skripsi. Kebijakan ini memiliki tendensi untuk mempercepat kelulusan.
REFERENSI
Azca, Muhammad Najib, and Oki Rahardianto. “Mengapa Menerbitkan Jurnal Studi Pemuda?.” Jurnal Studi Pemuda 1, no. 1 (2012): 46–49.
Bennett, Andy. “Researching youth culture and popular music: A methodological critique.” The British journal of sociology 53, no. 3 (2002): 451–466.
Blackman, Shane. “Subculture theory: An historical and contemporary assessment of the concept for understanding deviance.” Deviant behavior 35, no. 6 (2014): 496–512.
France, Alan, and Steven Roberts. “The problem of social generations: a critique of the new emerging orthodoxy in youth studies.” Journal of youth studies 18, no. 2 (2015): 215–230.
Furlong, Andy. Youth studies: An introduction. Routledge, 2012.
Hoffman, Diane M. “Risky investments: Parenting and the production of the ‘resilient child’.” Health, Risk & Society 12, no. 4 (2010): 385–394.
Mannheim, Karl. “The problem of generations.” Psychoanalytic review 57, no. 3 (1970): 378–404.
Naafs, Suzanne, and Ben White. “Intermediate generations: reflections on Indonesian youth studies.” The Asia Pacific Journal of Anthropology 13, no. 1 (2012): 3–20.
Pratiyudha, Pinurba Parama. “Gentrifikasi dan Akar-Akar Masalah Sosial: Menakar Identifikasi, Diagnosis, dan Treatment Proses Gentrifikasi Sebagai Masalah Sosial.” Reka Ruang 2, no. 1 (2019): 27–38.
Sukarieh, Mayssoun, and Stuart Tannock. “In the best interests of youth or neoliberalism? The World Bank and the New Global Youth Empowerment Project.” Journal of youth studies 11, no. 3 (2008): 301–312.
Sukarieh, Mayssoun, and Stuart Tannock. “The positivity imperative: A critical look at the ‘new’youth development movement.” Journal of Youth Studies 14, no. 6 (2011): 675–691.
Sutopo, Oki Rahadianto. “Agenda Pengembangan Kajian Kepemudaan di Indonesia.” Jurnal Sosiologi Pendidikan Humanis 1, no. 2 (2016): 161–172.
Sutopo, Oki Rahadianto. “Pemuda dan Resistensi: Sebuah Refleksi Kritis.” Jurnal Studi Pemuda 5, no. 2 (2016): 502–506.
Widyanta, A.B “Omnibus Law Cipta Kerja dan Ledakan Prekarisasi di Indonesia: Tantangan Masa Depan Kerja Bermartabat” in “Perspektif Ilmu Sosial di Era Digital: Disrupsi, Emansipasi, dan Rekognisi”. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press, 2021.
Woodman, Dan, and Andy Bennett. “Cultures, transitions, and generations: The case for a new youth studies.” In Youth cultures, transitions, and generations, pp. 1–15. Palgrave Macmillan, London, 2015.
Wyn, Johanna, and Dan Woodman. “Generation, youth and social change in Australia.” Journal of youth studies 9, no. 5 (2006): 495–514.